Seratus tahun setelah Adolf loose menyatakan  “ornament is crime” dengan analoginya yang mencontohkan manusia modern yang menganggap orang papua yang bertato dengan objek-objek sekeliling mereka yang berdekorasi adalah suatu masyarakat yang tidak beradab dan ketinggalan. Pahamnya telah menginspirasi arsitektur modern yang beranggapan bentuk modern adalah bentuk yang murni, bersih dan  terbebas dari ornamen dengan alasan bahwa ornamen adalah suatu budaya masa lalu atau yang primitive  yang harus dihilangkan  untuk menuju suatu masyarakat yang modern. 

    Aliran-aliran arsitektur modern ini juga berkembang di Indonesia sendiri  yang  dibawa oleh para pelajar arsitektur indonesia yang pertama kali balik dari eropa. Tapi banyak dari mereka meskipun terpengaruh dari paham modern yang bersih dan polos tidak begitu saja membuat bentuk yang benar-benar bersih dan murni tetapi berkembang dengan mengadaptasi iklim tropis seperti karyanya Frederich Silaban  

    Silaban disini mencoba mencari apakah arsitektur indonesia modern ketika di zaman itu diperlukanlah suatu arsitektur yang membawa Indonesia untuk lepas landas ke era yang baru setelah merdeka. Misi yang sulit dari Soekarno untuk memperlihatkan Indonesia kepada dunia bahwa kita telah bergerak menuju bangsa yang maju dan modern. Pertanyaan yang susah tentu apakah arsitektur Indonesia modern sendiri? kita memiliki arsitektur tradisional yang berbeda-beda dari sabang sampai merauke dan bila kita hanya mengexploitasi satu arsitektur tradisional hanya akan memecah persatuan kita, bagaimana kita memperlihatkan identitas yang baru kita pada dunia.

kantor pusat Bank Indonesia - Frederich Silaban dengan pola kisi-kisinya sebagai respon iklim tropis dan juga terlihat sebagai ornamen 

    Cara berpikir disini tetap memperlihatkan bahwa suatu yang tradisional disini adalah suatu masa lalu, kita butuh suatu yang baru untuk memperlihatkan kita telah berubah dan siap lepas landas. Tapi konflik kepetingan terlihat juga disini, dalam satu hal kita mau menjadi modern tapi di lain hal kita mau memperlihatkan identitas dan jati diri kita yang berbeda dari negara lain. 

   Pertanyaan ini dijawab oleh Silaban bahwa spirit arsitektur tradisional adalah cara merespon terhadad iklim tropikal. Dengan membuat arsitektur modern dengan tanggap dengan iklim kita bisa mewujudkan arsitektur indonesia modern. Tapi sayangnya yang dilupakan disini adalah bukan kita saja negara yang berada di satu garis iklim tropis. Malaysia, Thailand, Vietnam dan Singapura juga masih dalam satu iklim. 

   Ketika fundamental yang dicari adalah arsitektur kita seharusnya beratap, orientasi utara selatan, memaksimalkan cross ventilasi, menahan panas matahari yang langsung hanyalah respon sustainability dari bangunan dan tidak bisa mencerminkan identitas kita karena bisa saja respon terhada iklim ini menjadi sama dengan negara tetangga. Bila kita balik lagi terhadap ornamen, ketika Silaban mencoba mengekplorasi tampak bangunan yang merespon iklim tropis disadari atau tanpa disadari tampaknya malah seperti suatu ornamen yang diulang-ulang yang terintegrasi dengan strukturnya.

   Setelah beberapa dekade arsitektur modern memimpin timbulah perlawanan terhadap modern dari paham post modern arsitektur dimana beranggapan modern telah menghilangkan konteks lokasi, sosial, budaya setempat dengan memaksakan pahamnya. Paham post modern mengembalikan kembali ornamen karena menganggap modern tidak mempunyai jiwa dan membosankan. Tentu saja post modern hadir dengan mencari nilai dan expresi dalam penggunaan teknik membangun, bentuk dan referensi style-style lama yang sangat bertolak belakang dengan aliran modern yang minimalis.

   Setelah era post modern menjadi tren secara internasional, kita banyak mencari arsitek luar negeri untuk mendesign bangunan komersial kita. Ironinya  paham ini malah keluar dari misinya sewaktu hadir di Indonesia dan memaksakan juga bentuk baru yang juga terlepas dari identitas kita. Dengan gaya klasik kontemporer barat dengan tampilan ornamen baru dan berwarna menghias bangunan mal-mal dan perkantoran kita.

Mall taman anggrek bergaya post modern di design oleh Altoon & Porter Architect


Memang ada beberapa arsitek yang menghadirkan  kembali bentuk tradisional tertentu menjadi lebih modern dalam tipologi hotel resort, convention centre, bangunan publik yang menghadirkan kembali ornamen-ornamen tradisional dan atap tradisional. Yang menariknya mulai timbul pertanyaan tentang tipologi, ketika suatu atap tradisional dan ornamen yang sama dari suku tertentu muncul di semua tipologi bangunan. Bahkan untuk memperlihatkan kita sebagai bangsa yang satu, pola ornamen dari berbagai suku di Indonesia bisa hadir serempak dalam bangunan post modern ini. Berbagai kritik mulai dilontarkan ketika dirasa arsitektur tradisional sudah diperkosa dan dirampas nilai yang dikandungnya.

Kantor dinas perijinan kota Yogjakarta - memperlihatkan ornamen yang dipaksakan di kolom tanpa ada makna atau simbol yang jelas - hanyalah sebagai dekorasi memperlihatkan kejogjaan

Kantor pemerintahan Jayapura yang memperlihatkan kesamaan pemakaian tempelan ornamen suku tertentu di tengah kolom yang klasik dan atap tradisional suku tertentu yang dipaksakan kombinasinya dengan atap beton yang bergaya klasik

Kantor perwakilan pemerintah provinsi Sumatera - memperlihatkan gabungan kantor yang modern dengan penambahan atap tradisional Sumatera dengan ornamennya. Gabungan ini hanya menimbulkan pertanyaan bahwa atap beserta ornamen ini bisa di gabung dengan semua tipologi bangunan modern hanya untuk mengindentifikasikan ciri kelokalan yang semu.


   Susahnya disini tradisional memang mempunyai nilai-nilai yang bersifat sosial, budaya atau sakral atau spritual dalam menentukan ornamen dan bentuk dari bangunannya. Semuanya ada dasar dalam menentukan bangunannya seperti orientasi yang sakral terhadap alam, aturan yang ketat terhadap cara membangun elemen-elemen arsitekturnya dari kolom, pondasi, atap, dinding. Begitu juga dengan ornamen dan bentuk atap yang tidak bisa seenak-enaknya ditaruh dimana-mana. karena atap tradisional dan ornamen tradisional menyimbolkan tipologi tertentu, status penghuni rumah dan cerita kehidupan di baliknya.

   Konflik kembali terjadi disini ketika bangunan modern mempunyai suatu fungsi yang tidak pernah ada dalam tipologi bangunan tradisional seperti hotel, kantor, shopping centre, rumah sakit, dll. Semuanya hadir dari budaya barat yang telah  meyakinkan kita inilah yang modern dan terkini. Tidak pernah ada sebelumnya cara membangun bangunan modern ini di budaya kita. Referensi tentu berasal dari arsitektur negara lain. Dikarenakan post modern sendiri mencari hubungan dengan masa lalu, dipaksakanlah gaya tradisional ke bangunan modern dengan cara menampilkan yang terlihat dipermukaan seperti bentuk atap, pola ornamen tradisional yang dipadukan bentuk dan fungsi yang modern seperti layaknya theme park bertema budaya. 
Yang terjadi akhirnya di era post modern, kita merasa tidak enak melihat atap tradisional dan ornamen tampil di setiap bangunan post modern ini. Tentu saja ini hanyalah tempelan atau dekorasi semata yang tidak ada makna, tidak ada dasarnya, dan tidak bersuara. 

   Yang muncul belakangan adalah aliran modern minimalis. Lucunya ketika minimalis ini sebenarnya kembali ke paham modern awal yang bersih dan murni, malah menjadi salah paham akan gayanya  di masyarakat. kesalahpahaman tentang stylenya ditandai dengan munculah minimalis yang lain seperti minimalis art deco, minimalis tropikal, minimalis pop, minimalis industrial. Sepertinya minimalis yang lain ini muncul karena bentuk yang murni dan simple tidak terlalu disegani di masyarakat, bentuk modern  yang didekorasi dan mempunyai ornamen malah dipercaya sebagai minimalis. Dekorasi-dekorasi sederhana yang banyak ditambahkan di gaya minimalis ini malah menjadikannya kembali ke bentuk post modern. Fenomena ini juga dikarenakan masyarakat yang kurang mengerti tentang minimalis dan ketidakpercayaan masyarakat akan keindahan bentuk yang betul-betul murni ini. Sering di salah artikan bentuk yang murni tanpa dekorasi dan ornamen adalah suatu bentuk yang tidak menarik, belum selesai, dan tidak mewah. 

Cluster minimalis baru di Cawang memperlihatkan minimalis yang lain. Gaya ini sebenarnya sudah bukan lagi minimalis ketika unsur tropikal dari atap, pemakaian material batu alam yang disusun secara gaya klasik dan motif yang dipakai di pintu dan jendela sebagai hiasan tidak menjadikannya suatu bentuk yang murni dan bersih tapi sudah terpengaruh berbagai aliran. 


Cluster minimalis yang lain bergaya pop di Bandung dengan dekorasi warna yang berbeda-beda dan tambahan yang tidak perlu dari sirip warna biru dengan tujuan hiasan semata.

Minimalis yang lain yang meperlihatkan berbagai macam pola ornamen yang berbeda sebagai elemen dekorasi yang menempel di tampaknya. Tidak ada dasar dalam penentuan pola ornamen disini, hanyalah kesukaan dari perancangnya untuk tampil menarik.


   Dalam rumah tinggal, ketika sekarang ini pemiliknya sudah manusia modern dan tidak terikat tradisi, kehadiran ornamen ini  dinilai oleh pemiliknya untuk memperlihatkan tingkat kemakmurannya yang mampu mengeluarkan duit untuk menghias rumahnya dan bukan lagi memperlihatkan nilai-nilai budaya tradisinya.
Dalam bangunan komersial, ornamen ini juga kembali hadir untuk berbicara mewakili brand dari perusahaan atau merk dagangnya dengan tujuan untuk memasarkan barang dagangan atau jasa yang diberikan perusahaannya. Dalam bangunan publik, ornamen ini juga mempunyai maksud politik atau memanipulasi suatu identitas.


Mesjid raya Sumbar, Sumatera - memperlihatkan expresi yang modern dari spririt tradisional rumah adat minangkabau. Ekpresi ini menarik dikarenakan atap yang runcing dari minangkabau sudah melekat di mata publik dan arsiteknya dengan kreatif mengexpresikannya kembali lebih modern dengan ujungnya yang meruncing juga. Pola ornamennya pun dipakai kembali supaya bangunannya berkomunikasi dan bisa diterima oleh publik. Sepertinya aliran post modern yang kaya akan simbol dan ornamen lebih melekat ke hati publik dibanding suatu yang polos dan bersih tanpa ornamen dan detail yang tidak perlu (foto dari Fauzi Rahmat)

Kantor kementrian agama dengan pola tempelan diagonal silang dari aluminium panel di permukaan kaca tampak luarnya (foto dari agvanz.thumbr) - apakah arsiteknya bermaksud berkomunikasi arsitekturnya dengan publik dengan pola yang sering dilihat oleh masyarakat awam dari pola belah ketupat supaya publik tidak merasa asing dengan bangunannya. Atau apakah hiasan ini hanya untuk mengejar estetika belaka

Louis vuitton Jakarta - memperlihatkan pola ornamen dari merk brandnya yang sering dipakai di setiap tokonya di seluruh dunia dengan tujuan komersial


Cire Restaurant di Alila villa, Ulluwatu Bali oleh WOHA arsitek, Singapore. Memperlihatkan ornamen berbagai macam  gabungan pola motif  dari Indonesia yang dipresentasikan tanpa arti dan tidak berbicara dengan tujuan mengejar estetika semata dan memperlihatkan ada identitas keindonesiaannya yang semu 

Foresta business loft 2, BSD oleh arsitek Aboday. Pola ornamen motif segitiga dipakai sebagai tujuan sunscreen seperti pada bangunan pendahulunya karya Silaban. Ornamen disini mengambil pola grafis yang lebih modern dan terkini. Pertanyaan kembali apakah polanya ingin mewakili fungsi dari bangunannya, memberikan komunikasi ke publik atau hanyalah estitika belaka dari tren grafis yang sedang popular


   Akhirnya karena dorongan komoditas, ornamen ini timbul kembali dalam tiap tipologi bangunan modern kita dengan cara yang baru yang di sederhanakan dan diulang-ulang. Dalam beberapa tipologi, ornamen ini menjadi lebih bebas dan tidak terikat sisi sosial dan budaya. Pola-polanya pun sudah membebaskan diri dari konteks yang ada sehingga geometri apapun yang sedang tren bisa masuk dalam ornamen ini. kadang-kadang ornamen ini hanyalah juga jiplakan dari pola ornamen dari bangunan yang sering dipublikasikan di  majalah arsitektur atau media sosial untuk menjadikan tampilan yang trendy semata.

Meskipun beberapa arsitek di Indonesia telah sadar pentingnya fungsi ornamen ini untuk berkomunikasi ke publik tapi sayangnya banyak juga dari bangunan di Indonesia tidak menyuarakan dengan benar ornamennya dan hanyalah menjadi unsur estetika semata yang tidak berbicara. Meskipun sudah lama paham modern menolak segala bentuk ornamen, ornamen itu sendiri selalu muncul dengan sendirinya dalam pekembangan arsitektur kita. Saatnya kita meninjau ulang peranan ornamen dalam menyuarakan identitas arsitektur modern Indonesia.





Apa sih yang membedakan rumah-rumah kaum urban Indonesia dibandingkan dengan rumah di luar negeri? Jawabannya yang paling kelihatan adalah di perletakkan dan penggunaan istilah ruang tertentu yang tidak ada di luar negeri. Ruang inilah yang dimaksud: ruang tamu, ruang tidur tamu, dapur bersih dan basah, ruang pembantu.

foto oleh seni budaya12.blogspot - rumah joglo


Lucunya meskipun gaya yang dipakai oleh rumah tersebut bisa klasik mediterranian, tropis, minimalis, art deco, dll ruangan ini selalu hadir di denahnya. Bila anda bandingkan dengan rumah di luar negeri, anda akan menyadari hanyalah Indonesia yang mempunyai nama ruang ini.

Kenapa ruang-ruang ini hadir hanya di Indonesia? Inilah yang disebut budaya. budaya lahir dari kebiasaan orang Indonesia. Mari kita bahas tentang ruang tamu terlebih dahulu. Mungkin dikarenakan masih terpengaruh tradisi, dimana masyarakat Indonesia suka berkumpul, menerima tamu yang datang sekaligus menjamunya dan memamerkan rumahnya. Kebiasaan ini bisa di lacak dari rumah-rumah tradisional dimana selalu ada yang namanya pelataran atau serambi yang khusus bertujuan menyambut tamu yang datang, dijamu dan diajak ngobrol di ruang ini.

Tidak sopan bukan secara moral di Indonesia bila ada tamu yang berkunjung, kita tidak menjamunya dengan makanan-makanan kecil ataupun minuman. Tetapi meskipun begitu kita sangat berhati-hati menerima tamu yang datang. Bila tidak dikenal dengan baik, kita tidak akan membawanya lebih jauh kedalam ruang keluarga dikarenakan masalah keamanan. Terdapat batasan yang jelas yang memisahkan ruang tamu yang bersifat semi publik dan ruang keluarga yang bersifat privat.

Kadang-kadang pembatas ini banyak bersifat semi transparan dengan penggunaan kisi-kisi kayu atau kaca supaya yang punya rumah bisa mengintip sesaat untuk mengetahui siapa yang datang bertamu. Di ruang tamu ini jugalah kebanyakan pemiliknya menghias interiornya dengan bagusnya, kalau perlu memajang barang-barang koleksinya supaya terlihat kelasnya di masyarakat. Bila tamu yang datang adalah kerabat dekat atau masih hubungan kekeluargaan, maka dengan nilai kesopanan kita, diajaklah mereka menginap. Disinilah konsep kamar tamu terbentuk.

Tidak ada namanya ruang tamu dan kamar tidur tamu untuk rumah di luar negeri apalagi di negara barat. Kebanyakan dari mereka lebih individualis dan tidak banyak menerima tamu. Bilapun ingin bertemu teman, mereka lebih suka bertemu di tempat umum seperti cafe, pub, taman, pusat komunitas, dll.

Terus kenapa kita mempunyai dapur bersih dan kotor? Sebenarnya di barat hanya mengenal namanya dapur bersih untuk sebutan dapur dikarenakan jenis makanan yang disiapkan tidaklah berbau sangat kuat seperti makanan Indonesia. Makanan yang disajikan oleh orang barat kebanyakan adalah sandwich ataupun salad dan makan ringan lainnya yang mudah disajikan dan tidak berbau kuat.

Bandingkan dengan Indonesia yang memakai banyak rempah-rempah dalam bumbunya sebagai contoh kari, rendang, soto tentu baunya bisa ke seluruh ruangan. Makanya di Indonesia dibuatlah dapur kotor ini yang mempunyai ruangan sendiri agar bau makanannya hanya di ruangan ini. Tetapi dikarenakan kita sangat ingin mengikuti barat mempunyai dapur terbuka yang bergabung dengan ruang makan dan ruang keluarga maka hadirlah pantry atau dapur bersih ini.

Kenapa ruang pembantu juga berbeda dengan konsep rumah di luar negri? Itulah hebatnya kita, bayangkan di negara barat, bila anda mempunyai pembantu berarti anda adalah kaum orang kaya atau bangsawan. Sangatlah jarang bagi kaum menengah ke bawah di negara barat mempekerjakan pembantu yang haus tinggal bersama-sama di rumah. Bisa  dibayangkan ongkosnya yang mahal yang harus dikeluarkan bagi pemilik rumah. Tentunya mereka berpikir untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.

Terus kenapa kita dibilang hebat? tentunya di Indonesia, golongan menengah pun sanggup mempunyai pembantu makanya mereka merencanakan kamar pembantu beserta wcnya dalam rumahnya. Apakah ini dikarenakan kaun urban kita sudah terbiasa hidup manja dengan dilayani pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya atau memang terlalu sibuk bekerja.

Meskipun begitu kita seharusnya merencanakan kamar pembantu beserta wcnya dengan lebih manusiawi. Kadang-kadang dikarenakan ongkos membangun yang mahal, ruang-ruang ini diperkecil luasannya sampai-sampai deperti gudang yang sempit dan tidak terasa layak untuk pembantunya bisa tidur.

Jadi bisalah kita sebut ruang tamu, ruang tidur tamu, dapur bersih dan kotor beserta r. pembantu adalah fenomena yang indonesia banget.





   Jakarta sebagai kota megapolitan sangat disayangkan pemerintahnya tidak terlalu memperhatikan kondisi jalur pejalan kaki atau trotoar. Menurut Alfred Sitorus, ketua koalisi pejalan kaki tercatat 80% trotoar tidak layak diakses pejalan kaki dan 99% tidak layak diakses penyandang disabilitas. Memang ada beberapa  yang telah dirapikan oleh pemerintah, tapi itupun daerah yang dianggap mempunyai nilai ekonomi dan politik  lebih seperti daerah turis ataupun pusat pemerintahan.

   Kebanyakan kondisi trotoar yang bagus hanya berada pada sentral bisnis seperti kuningan, sudirman, thamrin, dll ataupun daerah cluster komersial dan perumahan yang dikelola oleh pengembang. Trotoar di daerah pengembang memang menjadi rapi dan terawat, meskipun bertujuan memberikan nilai harga tanah dan bangunan yang tinggi.

  Bila dibandingkan dengan di daerah di luar itu, kondisi trotoar di ibukota sangatlah berantakan. banyak trotoar yang hancur, terputus dan tidak layak dipakai untuk pejalan kaki. Diperparah dengan kaki lima, pengendara motor, tukang ojek dan sektor informal lainnya yang menempati hampir seluruh trotoar.

   Dikarenakan hali ini, sering kali  aktivitas yang lainnya seperti kegiatan informal di trotoar ini banyak dilarang dan diusir dikarenakan akan terlihat kumuh dan mengganggu, bahkan dalam perencanaan kota sektor ini sering diabaikan. Padahal sektor informal dari kaki lima  yang sering kali menempati trotoar di daerah sentra bisnis ini sangat membantu para pegawai kelas bawah seperti officeboy, satpam untuk mendapatkan makan siang yang terjangkau.

   Jakarta itu memang kurang ruang publik ataupun ruang hijau yang memadai. Seharusnya trotoar ini bisa menjadi pengganti ruang publik dan hijaunya. Sudah banyak dari warga Jakarta memakai trotoar sebagai pengganti ruang bersama. Janganlah disalahkan bila kaki lima, pengamen jalanan, tukang ojek, anak-anak jalanan bermain, seniman, pasar  ataupun sektor informal lainnya menempati trotoar ini. Justru merekalah yang menghidupkan ruang publik kota.

foto oleh highnews1.wordpress - PKL dikawasan jakarta pusat menjelang ramadhan

   Ingatlah kota kita bukanlah kota barat dimana trotoar memang benar-benar difungsikan satu kegiatan saja sebagai tempat pejalan kaki dan tidak melihat banyak dari kalangan bawah berjuang untuk hidup di Jakarta di trotoar ini. Mungkin anda pernah mendengar banyak kisah cerita sukses dari orang-orang yang mula-mula hanya berjualan di kaki lima pinggir jalan di ibukota secara ilegal lalu mendadak mereka bisa menaikkan taraf hidupnya dan mempunyai cabang-cabang di seluruh kota Jakarta. Justru sektor informal inilah juga yang membantu perekonomian negara dan mengatasi jumlah pengangguran.

Sejak dahulu kota Asia sebenarnya tidak memberikan batasan fungsi pada jalur infrastrukturnya baik trotoar, ruang hijau, ataupun jalanannya. Lihat saja di kampung kota, dikarenakan keabsenan perencanaan kota yang baik  malah menjadikan jalan tanpa trotoar ini sebagai tempat aktivitas bersama dan ruang yang saling berbagi sekaligus jalur kendaraan dan pejalan kaki. Infrastruktur di kampung kota ini lebih flexible menerima berbagai macam kegiatan dari kegiatan pernikahan, upacara kematian, prosesi sunatan dengan menutup jalanannya, anak-anak bermain di jalanan, kaki lima, tukang sayur mendorong dagangannya di jalan, dll. Bukankah ini yang seharusnya menjadi suatu representasi akan identitas kota kita yang berbeda dari kota besar di dunia lainnya.

   Dalam satu sisi memang ada bahaya akan keselamatan pejalan kaki itu sendiri sewaktu ruang trotoar yang terbatas ini ditempati oleh berbagai macam kegiatan pada daerah yang jalanannya padat di lalui kendaraan bermotor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Memang kasus kampung kota berbeda dengan di jalur jalan yang lebar dan padat kendaraan bermotornya, dimana kondisi ini harus tetap memperlihatkan batasan yang jelas antara pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor untuk menjaga keselamatan penggunanya. Sering kali terlihat kakilima atau tukang ojek yang mengambil seluruh trotoar untuk berjualan sehingga memaksa pejalan kaki berjalan di jalanan yang padat ini. Yang diperparah lagi bila motor-motor dengan seenaknya berjalan di atas trotoar dan mengusir para pejalan kaki yang ada didepannya

foto oleh jakartapedestrian.wordpress.com mempelihatkan persaingan pejalan kaki memperebutkan ruangnya dengan pengendara motor yang parkir dan berjalan di trotoar


  Masalahnya sebenarnya bukan salah bila trotoar kita difungsikan menjadi banyak kegiatan atau multifungsi, tetapi tetap harus ada aturan main yang jelas. Harus ada aturan dan perencanaan yang jelas  tentang daerah mana trotoar boleh ditempati kegiatan informal, berapa minimum lebar trotoar ini yang diperbolehkan untuk kegiatan lainnya dari kaki lima, parkir motor, dll, berapa kapasitas yang optimal yang bisa ditampung jalan tersebut untuk keperluaan kegiatan tersebut dan bila diperbolehkan tentu saja harus ada batas-batas yang jelas antara ruang untuk kegiatan informal dan pejalan kaki. Tapi tentunya untuk motor yang memasuki trotoar itu seharusnya tidak boleh dibiarkan karena akan membahayakan keselamatan pejalan kaki.



Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home