Apakah ornamen bersuara? ornamen dan peranannya di arsitektur modern Indonesia

Leave a Comment

    Seratus tahun setelah Adolf loose menyatakan  “ornament is crime” dengan analoginya yang mencontohkan manusia modern yang menganggap orang papua yang bertato dengan objek-objek sekeliling mereka yang berdekorasi adalah suatu masyarakat yang tidak beradab dan ketinggalan. Pahamnya telah menginspirasi arsitektur modern yang beranggapan bentuk modern adalah bentuk yang murni, bersih dan  terbebas dari ornamen dengan alasan bahwa ornamen adalah suatu budaya masa lalu atau yang primitive  yang harus dihilangkan  untuk menuju suatu masyarakat yang modern. 

    Aliran-aliran arsitektur modern ini juga berkembang di Indonesia sendiri  yang  dibawa oleh para pelajar arsitektur indonesia yang pertama kali balik dari eropa. Tapi banyak dari mereka meskipun terpengaruh dari paham modern yang bersih dan polos tidak begitu saja membuat bentuk yang benar-benar bersih dan murni tetapi berkembang dengan mengadaptasi iklim tropis seperti karyanya Frederich Silaban  

    Silaban disini mencoba mencari apakah arsitektur indonesia modern ketika di zaman itu diperlukanlah suatu arsitektur yang membawa Indonesia untuk lepas landas ke era yang baru setelah merdeka. Misi yang sulit dari Soekarno untuk memperlihatkan Indonesia kepada dunia bahwa kita telah bergerak menuju bangsa yang maju dan modern. Pertanyaan yang susah tentu apakah arsitektur Indonesia modern sendiri? kita memiliki arsitektur tradisional yang berbeda-beda dari sabang sampai merauke dan bila kita hanya mengexploitasi satu arsitektur tradisional hanya akan memecah persatuan kita, bagaimana kita memperlihatkan identitas yang baru kita pada dunia.

kantor pusat Bank Indonesia - Frederich Silaban dengan pola kisi-kisinya sebagai respon iklim tropis dan juga terlihat sebagai ornamen 

    Cara berpikir disini tetap memperlihatkan bahwa suatu yang tradisional disini adalah suatu masa lalu, kita butuh suatu yang baru untuk memperlihatkan kita telah berubah dan siap lepas landas. Tapi konflik kepetingan terlihat juga disini, dalam satu hal kita mau menjadi modern tapi di lain hal kita mau memperlihatkan identitas dan jati diri kita yang berbeda dari negara lain. 

   Pertanyaan ini dijawab oleh Silaban bahwa spirit arsitektur tradisional adalah cara merespon terhadad iklim tropikal. Dengan membuat arsitektur modern dengan tanggap dengan iklim kita bisa mewujudkan arsitektur indonesia modern. Tapi sayangnya yang dilupakan disini adalah bukan kita saja negara yang berada di satu garis iklim tropis. Malaysia, Thailand, Vietnam dan Singapura juga masih dalam satu iklim. 

   Ketika fundamental yang dicari adalah arsitektur kita seharusnya beratap, orientasi utara selatan, memaksimalkan cross ventilasi, menahan panas matahari yang langsung hanyalah respon sustainability dari bangunan dan tidak bisa mencerminkan identitas kita karena bisa saja respon terhada iklim ini menjadi sama dengan negara tetangga. Bila kita balik lagi terhadap ornamen, ketika Silaban mencoba mengekplorasi tampak bangunan yang merespon iklim tropis disadari atau tanpa disadari tampaknya malah seperti suatu ornamen yang diulang-ulang yang terintegrasi dengan strukturnya.

   Setelah beberapa dekade arsitektur modern memimpin timbulah perlawanan terhadap modern dari paham post modern arsitektur dimana beranggapan modern telah menghilangkan konteks lokasi, sosial, budaya setempat dengan memaksakan pahamnya. Paham post modern mengembalikan kembali ornamen karena menganggap modern tidak mempunyai jiwa dan membosankan. Tentu saja post modern hadir dengan mencari nilai dan expresi dalam penggunaan teknik membangun, bentuk dan referensi style-style lama yang sangat bertolak belakang dengan aliran modern yang minimalis.

   Setelah era post modern menjadi tren secara internasional, kita banyak mencari arsitek luar negeri untuk mendesign bangunan komersial kita. Ironinya  paham ini malah keluar dari misinya sewaktu hadir di Indonesia dan memaksakan juga bentuk baru yang juga terlepas dari identitas kita. Dengan gaya klasik kontemporer barat dengan tampilan ornamen baru dan berwarna menghias bangunan mal-mal dan perkantoran kita.

Mall taman anggrek bergaya post modern di design oleh Altoon & Porter Architect


Memang ada beberapa arsitek yang menghadirkan  kembali bentuk tradisional tertentu menjadi lebih modern dalam tipologi hotel resort, convention centre, bangunan publik yang menghadirkan kembali ornamen-ornamen tradisional dan atap tradisional. Yang menariknya mulai timbul pertanyaan tentang tipologi, ketika suatu atap tradisional dan ornamen yang sama dari suku tertentu muncul di semua tipologi bangunan. Bahkan untuk memperlihatkan kita sebagai bangsa yang satu, pola ornamen dari berbagai suku di Indonesia bisa hadir serempak dalam bangunan post modern ini. Berbagai kritik mulai dilontarkan ketika dirasa arsitektur tradisional sudah diperkosa dan dirampas nilai yang dikandungnya.

Kantor dinas perijinan kota Yogjakarta - memperlihatkan ornamen yang dipaksakan di kolom tanpa ada makna atau simbol yang jelas - hanyalah sebagai dekorasi memperlihatkan kejogjaan

Kantor pemerintahan Jayapura yang memperlihatkan kesamaan pemakaian tempelan ornamen suku tertentu di tengah kolom yang klasik dan atap tradisional suku tertentu yang dipaksakan kombinasinya dengan atap beton yang bergaya klasik

Kantor perwakilan pemerintah provinsi Sumatera - memperlihatkan gabungan kantor yang modern dengan penambahan atap tradisional Sumatera dengan ornamennya. Gabungan ini hanya menimbulkan pertanyaan bahwa atap beserta ornamen ini bisa di gabung dengan semua tipologi bangunan modern hanya untuk mengindentifikasikan ciri kelokalan yang semu.


   Susahnya disini tradisional memang mempunyai nilai-nilai yang bersifat sosial, budaya atau sakral atau spritual dalam menentukan ornamen dan bentuk dari bangunannya. Semuanya ada dasar dalam menentukan bangunannya seperti orientasi yang sakral terhadap alam, aturan yang ketat terhadap cara membangun elemen-elemen arsitekturnya dari kolom, pondasi, atap, dinding. Begitu juga dengan ornamen dan bentuk atap yang tidak bisa seenak-enaknya ditaruh dimana-mana. karena atap tradisional dan ornamen tradisional menyimbolkan tipologi tertentu, status penghuni rumah dan cerita kehidupan di baliknya.

   Konflik kembali terjadi disini ketika bangunan modern mempunyai suatu fungsi yang tidak pernah ada dalam tipologi bangunan tradisional seperti hotel, kantor, shopping centre, rumah sakit, dll. Semuanya hadir dari budaya barat yang telah  meyakinkan kita inilah yang modern dan terkini. Tidak pernah ada sebelumnya cara membangun bangunan modern ini di budaya kita. Referensi tentu berasal dari arsitektur negara lain. Dikarenakan post modern sendiri mencari hubungan dengan masa lalu, dipaksakanlah gaya tradisional ke bangunan modern dengan cara menampilkan yang terlihat dipermukaan seperti bentuk atap, pola ornamen tradisional yang dipadukan bentuk dan fungsi yang modern seperti layaknya theme park bertema budaya. 
Yang terjadi akhirnya di era post modern, kita merasa tidak enak melihat atap tradisional dan ornamen tampil di setiap bangunan post modern ini. Tentu saja ini hanyalah tempelan atau dekorasi semata yang tidak ada makna, tidak ada dasarnya, dan tidak bersuara. 

   Yang muncul belakangan adalah aliran modern minimalis. Lucunya ketika minimalis ini sebenarnya kembali ke paham modern awal yang bersih dan murni, malah menjadi salah paham akan gayanya  di masyarakat. kesalahpahaman tentang stylenya ditandai dengan munculah minimalis yang lain seperti minimalis art deco, minimalis tropikal, minimalis pop, minimalis industrial. Sepertinya minimalis yang lain ini muncul karena bentuk yang murni dan simple tidak terlalu disegani di masyarakat, bentuk modern  yang didekorasi dan mempunyai ornamen malah dipercaya sebagai minimalis. Dekorasi-dekorasi sederhana yang banyak ditambahkan di gaya minimalis ini malah menjadikannya kembali ke bentuk post modern. Fenomena ini juga dikarenakan masyarakat yang kurang mengerti tentang minimalis dan ketidakpercayaan masyarakat akan keindahan bentuk yang betul-betul murni ini. Sering di salah artikan bentuk yang murni tanpa dekorasi dan ornamen adalah suatu bentuk yang tidak menarik, belum selesai, dan tidak mewah. 

Cluster minimalis baru di Cawang memperlihatkan minimalis yang lain. Gaya ini sebenarnya sudah bukan lagi minimalis ketika unsur tropikal dari atap, pemakaian material batu alam yang disusun secara gaya klasik dan motif yang dipakai di pintu dan jendela sebagai hiasan tidak menjadikannya suatu bentuk yang murni dan bersih tapi sudah terpengaruh berbagai aliran. 


Cluster minimalis yang lain bergaya pop di Bandung dengan dekorasi warna yang berbeda-beda dan tambahan yang tidak perlu dari sirip warna biru dengan tujuan hiasan semata.

Minimalis yang lain yang meperlihatkan berbagai macam pola ornamen yang berbeda sebagai elemen dekorasi yang menempel di tampaknya. Tidak ada dasar dalam penentuan pola ornamen disini, hanyalah kesukaan dari perancangnya untuk tampil menarik.


   Dalam rumah tinggal, ketika sekarang ini pemiliknya sudah manusia modern dan tidak terikat tradisi, kehadiran ornamen ini  dinilai oleh pemiliknya untuk memperlihatkan tingkat kemakmurannya yang mampu mengeluarkan duit untuk menghias rumahnya dan bukan lagi memperlihatkan nilai-nilai budaya tradisinya.
Dalam bangunan komersial, ornamen ini juga kembali hadir untuk berbicara mewakili brand dari perusahaan atau merk dagangnya dengan tujuan untuk memasarkan barang dagangan atau jasa yang diberikan perusahaannya. Dalam bangunan publik, ornamen ini juga mempunyai maksud politik atau memanipulasi suatu identitas.


Mesjid raya Sumbar, Sumatera - memperlihatkan expresi yang modern dari spririt tradisional rumah adat minangkabau. Ekpresi ini menarik dikarenakan atap yang runcing dari minangkabau sudah melekat di mata publik dan arsiteknya dengan kreatif mengexpresikannya kembali lebih modern dengan ujungnya yang meruncing juga. Pola ornamennya pun dipakai kembali supaya bangunannya berkomunikasi dan bisa diterima oleh publik. Sepertinya aliran post modern yang kaya akan simbol dan ornamen lebih melekat ke hati publik dibanding suatu yang polos dan bersih tanpa ornamen dan detail yang tidak perlu (foto dari Fauzi Rahmat)

Kantor kementrian agama dengan pola tempelan diagonal silang dari aluminium panel di permukaan kaca tampak luarnya (foto dari agvanz.thumbr) - apakah arsiteknya bermaksud berkomunikasi arsitekturnya dengan publik dengan pola yang sering dilihat oleh masyarakat awam dari pola belah ketupat supaya publik tidak merasa asing dengan bangunannya. Atau apakah hiasan ini hanya untuk mengejar estetika belaka

Louis vuitton Jakarta - memperlihatkan pola ornamen dari merk brandnya yang sering dipakai di setiap tokonya di seluruh dunia dengan tujuan komersial


Cire Restaurant di Alila villa, Ulluwatu Bali oleh WOHA arsitek, Singapore. Memperlihatkan ornamen berbagai macam  gabungan pola motif  dari Indonesia yang dipresentasikan tanpa arti dan tidak berbicara dengan tujuan mengejar estetika semata dan memperlihatkan ada identitas keindonesiaannya yang semu 

Foresta business loft 2, BSD oleh arsitek Aboday. Pola ornamen motif segitiga dipakai sebagai tujuan sunscreen seperti pada bangunan pendahulunya karya Silaban. Ornamen disini mengambil pola grafis yang lebih modern dan terkini. Pertanyaan kembali apakah polanya ingin mewakili fungsi dari bangunannya, memberikan komunikasi ke publik atau hanyalah estitika belaka dari tren grafis yang sedang popular


   Akhirnya karena dorongan komoditas, ornamen ini timbul kembali dalam tiap tipologi bangunan modern kita dengan cara yang baru yang di sederhanakan dan diulang-ulang. Dalam beberapa tipologi, ornamen ini menjadi lebih bebas dan tidak terikat sisi sosial dan budaya. Pola-polanya pun sudah membebaskan diri dari konteks yang ada sehingga geometri apapun yang sedang tren bisa masuk dalam ornamen ini. kadang-kadang ornamen ini hanyalah juga jiplakan dari pola ornamen dari bangunan yang sering dipublikasikan di  majalah arsitektur atau media sosial untuk menjadikan tampilan yang trendy semata.

Meskipun beberapa arsitek di Indonesia telah sadar pentingnya fungsi ornamen ini untuk berkomunikasi ke publik tapi sayangnya banyak juga dari bangunan di Indonesia tidak menyuarakan dengan benar ornamennya dan hanyalah menjadi unsur estetika semata yang tidak berbicara. Meskipun sudah lama paham modern menolak segala bentuk ornamen, ornamen itu sendiri selalu muncul dengan sendirinya dalam pekembangan arsitektur kita. Saatnya kita meninjau ulang peranan ornamen dalam menyuarakan identitas arsitektur modern Indonesia.





Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment