Bangunan Mall cerminan gaya hidup kita

1 comment
Mall hadir karena gaya hidup kita

    “Dengan membawa mobil sedan warna hitam, Michael rela mecet-macetan di Malam minggu menuju suatu bangunan besar yang tampilannya mempunyai aneka ragam ornament modern dengan permainan cahaya yang berubah-rubah setiap menitnya. Tanpa perlu bertanya sana-sini letaknya, bangunan itu sendiri sudah menarik mata orang kebanyakan dengan iklannya yang besar setinggi 2 lantai dari produk-produk yang bermerk dari luar negeri, warnanya yang juga mencolok dan cahaya yang menyilaukan dari papan namanya. Setelah sampai di pintu masuknya, mobilnya segera diarahkan oleh satpam ke tempat parkir di basement karena pintu masuknya penuh dengan mobil yang mengantarkan penumpangnya di pintu masuk dan parkiran di lantai atas yang sudah penuh.

    Lagi-lagi setelah mendapatkan karcis dari mesin otomatis, Michael harus menunggu dengan sabar antrian mobil yang panjang demi mendapatkan parkir. Beruntungnya setelah keliling satu putaran dalam waktu setengah jam, ada satu mobil keluar di depan mobilnya. Segeralah setelah mendapatkan parkiran, Michael masuk ke pintu lift yang membawanya langsung ke daerah restaurant di lantai empat. Dengan gaya berpakaiannya yang trendy, Michael tergesa- gesa segera berlari menuju café dimana temannya menunggu. Dengan melewati ruang-ruang bergaya interior ala Jepang,Timur tengah, amerika, dan futuristik sampailah dia disamping café dekat kincir angin imitasi dari kincir angin di Belanda. Untungnya temannya telah membooking tempat terlebih dahulu jadi mereka tidak usah lama lagi mengantri. Maklum café ini dibuat oleh chef terkenal, Jamie Oliver yang baru-baru ini terkenal di televisi dan buka cabangnya disini.

    Setelah selesai makan bersama temannya, segeralah mereka menuju ke lantai dasar tempat barang-barang bermerk yang diimpor dari luar negeri. Bersama mereka melihat produk iphone apple terbaru yang baru-baru ini diiklankan di internet dan baju dengan fashion terbaru yang sering tampil di majalah-majalah. Setelah puas belanja beberapa produk ini akhirnya mereka bosan dengan suasana dari bangunan ini. Segeralah mereka pindah ke bangunan baru di seberangnya yang sama-sama penuh dengan ornament bercahaya dari louis vutton, channel dan Prada. Lagi-lagi setelah masuk mereka dihadirkan dengan suasana yang berbeda yang lebih modern. Sayangnya salah satu temannya kecewa dengan bangunan baru ini karena barangnya yang hampir sama dan nuansanya yang seperti salah satu bangunan yang sering dia kunjungi di Singapore."

   Mungkin anda sudah bisa menebak bangunan apa yang dikunjungi Michael dalam cerita tersebut dan mungkin juga anda mempunyai pengalaman serupa. Betul, inilah fenomena bangunan mall atau pusat pembelanjaan mewah yang terjadi di kota besar di Indonesia. Bertumbuhnya bangunan mall di tahun belakangan ini memang sungguh menarik untuk dikaji. Beberapa artikel banyak menyalahkan akan kehadiran mall ini sebagai ungkapan kapitalis modern dimana membuat orang berpikir dengan pola konsumtif. Bila kita renungkan kehadiran si raksaksa dengan tampilan atraktif ini merupakan bagian dari proses budaya dari hasil yang didapat dari pembentukan kota.

    Kaum urban di kota besar memang mempunyai gaya hidup yang konsumtif. Mall itu sendiri adalah cerminan gaya hidup perkotaan, dimana semua barang-barang terbaru yang  terkini beserta informasi terbaru hadir di tempat ini untuk memanjakan keinginan kita akan belanja. Ketertarikannya untuk datang ke bangunan ini dipicu juga oleh iklan-iklan komersial yang hadir baik itu di televisi, radio, majalah atau media sosial, membuat kaum urban berlomba-lomba mencari barang-barang tersebut supaya tidak mau kalah menjadi manusia modern terkini. 

Perbedaan mall di Indonesia dan luar negeri

   Suksesnya bangunan mall ini bisa terlihat dengan permintaan yang tinggi akan retail dan parkirannya yang selalu penuh. Kesuksesannya ini berdampak setiap pengembang berlomba-lomba membuat mall baru di lokasi strategis. Sayangnya, pemerintah tidak meninjau ulang jarak antara mal-mal baru ini di kota besar. Banyak dari mall ini berjarak dekat satu sama lain yang menjadi penyebab kemacetan.  Bila kita lihat perkembangan mall di kota besar negara maju, mall yang besar biasanya berada dekat dengan fasilitas transportasi umum baik itu station kereta atau bis, lalu jaraknya pun diatur dengan radius tertentu antara mall besar lainnya (adanya perencanaan yang baik dengan melihat hubungan mall dengan skala perkotaan), selain itu mall itu sendiri biasanya hanya untuk mendukung penduduk di sekelilingnya.

Mall Namba Park, Osaka, Jepang (www. jerde.com)
Mall di Jepang yang didesign oleh arsitek international, Jerde partnership yang memperlihatkan hubungan perkotaannya dengan membuka sirkulasi menerus untuk publik dari mallnya ke arah namba station. Mallnya sendiri berada dekat dengan Namba station sehingga tidak banyak publik menggunakan kendaraan pribadi untuk berkunjung. Meskipun barang yang disajikan adalah barang bermerk yang mahal, mall ini berkesan terbuka untuk semua kalangan karena keterbukaannya ke arah perkotaannya.


    Bila kita bandingkan dengan mall-mall di Kota besar di Indonesia, mall ini tidak dirancang untuk bekerjasama dengan jalur transportasi umum. Karena minimnya transportasi umum yang memadai dan jalurnya yang tidak langsung berhenti di depannya, banyak pengunjung mall membawa kendaraan pribadinya. Hebatnya lagi karena gaya hidup kita yang selalu mengunjungi mall di waktu santai, mall-mall ini tidak hanya melayani untuk daerah di sekelilingnya tapi juga untuk daerah yang jauh juga. Misalnya di malam minggu banyak pengunjung yang dari bekasi, tanggerang atau Bsd ke mall grand indonesia di pusat kota Jakarta. Bisa anda bayangkan bagaimana macetnya di parkiran grand Indonesia di malam minggu  ketika banyak penduduk dari luar Jakarta dan dalam Jakarta serempak kesana membawa kendaraan pribadinya.

    Perbedaan lainya di mall kita adalah tidak adanya perencanaan antara mall dengan perkotaannya seperti dari akses jalur pejalan kaki yang menghubungkan dengan lingkungan sekitarnya ataupun dengan transportasi umum. Seakan-akan memang dirancang kalau  pengunjungnya berasal dari kendaraan pribadi yang langsung menuju ke tempat parkiran dan langsung masuk ke mall dari parkiran ataupun bila ada pintu masuk di tampak luarnya hanya berfungsi terutama sebagai drop off pengunjung dari kendaraan pribadinya. Sehingga yang terjadi sekarang mall menjadi raksasa yang memisahkan dirinya dari lingkungan sekitarnya. Tapi memang itulah yang diharapkan menjadi suatu kantong atau "enclave" untuk kaum menengah dan keatas ibukota untuk bisa memamerkan  dirinya sebagai manusia modern terkinian yang mengisolasi dirinya dan tanpa perlu melihat realitas yang terjadi di kota di Indonesia. Seperti suatu dunia yang berbeda yang memisahkan sosial kelas di masyarakat.

Photo oleh pullmanjakartacentralpark.com

    Pintarnya developer memanfaatkan lakunya enclave atau kantong urban yang terjadi di masyarakat ini dengan menghadirkan monster raksasa  lainnya yang bernama mix-used building atau bangunan multi fungsi yang menggabungkan berbagai fasilitas lainnya seperti apartemen, sekolah, rumah sakit, kantor dengan mall. Contohnya adalah central park mall di Grogol, Jakarta yang sukses karena menawarkan suatu ruang publik baru yang tertutup di tengah-tengah mallnya yang bisa dipakai berbagai acara oleh golongan menengah ke atas ibukota. Kesuksesannya juga dikarenakan penggabungan tipe mall ini dengan hotel, kantor, sekolah dan apartemen menjadikan suatu kota dalam kota yaitu podomoro land.

   Fenomena ini bermula ketika gap ekonomi antara golongan menengah keatas dan golongan bawah makin tajam.  Golongan menengah keatas ini mulai mencari ruang publik baru yang tidak didapatkan dari minimnya fasilitas ruang publik yang berkualitas di kota.  walaupun ada, mereka tidak berkeinginan untuk saling berbagi ruang dengan golongan bawah. keadaan diperparah semenjak pasca traumatik 98 dimana kejatuhan orde baru menyebabkan trauma akan rasa aman khususnya untuk kaum minoritas.

Selain itu karena jumlah kriminalitas yang tinggi di kota besar, tidak heran bila orang tua lebih mempercayakan anaknya nongkrong di mall dengan keamanan yang ketat dibanding anaknya main di taman kota. Ketatnya keamanan di mall ini, bisa terlihat ketatnya satpam-satpam mengawasi pengunjung yang masuk dengan mesin scannya. Bahkan saking paranoianya takut terjadi kriminal, bila pengunjung terlihat memakai pakaian yang bergaya kelas bawah langsung dicurigai atau tidak diperbolehkan masuk.
Faktor lainnya karena ketidaknyamanan lingkungan kota akan polusi, mall yang penuh ac, dipercaya menjadi pengganti tempat ruang publik yang baru.

Tren baru Mall berbentuk ITC untuk kalangan menengah kebawah

    Ketika gaya hidup belanja ini menjadi tren juga bagi masyarakat golongan menengah ke bawah dan banyaknya permintaan akan pusat pembelanjaan untuk golongan ini, investor mencari cara untuk mendapatkan keuntungan dengan mengembangkan tipologi baru dari pusat pembelanjaan. Dengan meminimkan ruang sirkulasi publik dan memaksimalkan jumlah retail, tipologi baru hadir yang dinamakan ITC (International Trade Centre). Tentu saja ITC ini berbeda dengan mall. Perbedaan yang terlihat adalah retailnya yang dibuat ukuran kecil seperti kios supaya harga sewanya terjangkau dan juga koridor publiknya yang minim dan tidak terkesan mewah dan lebar layaknya mall.

     Menariknya ITC menjadi sebuah tipologi baru yang menggabungkan tipologi denah pasar tradisional dengan mall. Apakah tipologi ini terjadi dengan tidak sadar karena mengejar keuntungan semata dengan memaksimalkan jumlah retail atau memang dirancang sedemikian rupa.
Keberhasilan ITC ini menjadi model pengembangan pusat pembelanjaan untuk pasaran menengah ke bawah lainnya. Contohnya pengembangan pusat pembelanjaan textil tanah abang, mangga dua, glodok dll. Sayangnya, karena sistim denahnya yang meletakkan retailnya seperti grid, banyak pengunjung merasa kehilangan orientasi. Tanpa informasi arahan yang jelas, pengunjung susah mengingat posisi toko yang dituju.

denah ITC mall


    Selain itu dikarenakan tinggi lantai ke lantainya yang  lebih rendah dari standart mall pada umumnya dipadukan toko kecil yang jumlahnya banyak dengan koridor publik yang sempit menjadikan suasananya terkesan penuh sesak. Koridor publik yang sempit ini juga beresiko fatal bila ada kebakaran karena jalur pelarian kebakarannya yang tidak cukup lebar menampung orang banyak lari menyelamatkan diri . Kadang-kadang pihak investor atau kontraktornya mencari cara untuk mengurangi biaya pembangunannya dengan pengurangan material konstruksinya. Tanpa kontrol yang ketat, pengurangan material dalam segi struktur atau electrikal bisa menyebabkan runtuhnya bangunan dan kebakaran.

Akhir kata

    Susahnya, semakin  tingginya tingkat konsumerisme di masyarakat , mall  menjadi semakin raksaksa. Carbon yang dikeluarkan dari mal-mal inilah juga penyebab pemanasan global. Tapi lagi-lagi ekonomi menjadi tolak ukur kemajuan di tiap negara. Semakin tingginya masyarakat yang belanja, kontribusi ke ekonomi menjadi tinggi. Seakan-akan memang kita diajarkan belanja melebihi kebutuhan kita atau bergaya hidup hedonisme dan bukan belajar untuk hidup sederhana. Selain itu semakin tinggi permintaan akan barang untuk dikonsumsi, semakin banyak pabrik berproduksi dan mengeluarkan gas emisi yang memperparah pengrusakan alam.
Lagi-lagi mungkin kita harus memikirkan kembali gaya hidup modern kita.



Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

  1. sangat membuka wawasan sekali tulisannya ..saya merasa sadar akan pertumbuhan mall di kota2 besar di indonesia tidak lagi memperhatikan lingkungan sekitarnya dan hanya berfokus untuk kepentingannya sendiri

    ReplyDelete