arsitektur apakah yang terjadi setelah globalisasi

Leave a Comment
Ketika saya masih kuliah M.Arch beberapa tahun yang lalu, ada satu kuliah yang menarik tentang global city. Ketika arsitektur menjadi suatu bentuk kesamaan dari international style dan masyarakat yang sudah global, apakah yang membedakan setiap kota di dunia? pertanyaan tentu timbul dengan kota metropolitan Jakarta, apakah yang terjadi dengan masyarakat dan arsitekturnya menghadapi globalisasi. Tentu pertanyaan lainnya apakah kontektual dalam mendesign sudah tidak berlaku dan kita bisa seenaknya mengimport gaya arsitektur dari negara apapun untuk hadir di kota global.

Berbagai isu kita lalui seperti aktor yang terlibat di kota global dimana orang lokal hanya ditentukan dari pemegang ijin tinggal atau visa. Aktor yang datang sebagian besar adalah pendatang dengan membawa budaya yang berbeda-beda yang hanya memakai rumah sebagai tempat tinggal sementara dan nomaden. Gentrifikasi yang terus menerus sehingga demografi penduduk yang terus berubah. Sektor perekonomian yang cenderung berubah dikarenakan pasar dunia yang selalu berubah.

Diskusi dan diskusi kita lalui. Yang paling menarik diperbincangkan adalah meskipun beberapa setuju kesamaan yang terjadi tapi ada beberapa mahasiswa international tidak setuju dengan pendapat ini dan bahkan ada yang menolak terjadinya globalisasi. Beberapa yang tidak sependapat dengan kesamaan ini berpendapat bahwa kotanya meskipun sama dalan arsitektur modernnya tapi tetap berbeda kesan yang terjadi. Meskipun mereka belum tahu apa yang membuat berbeda, mereka tetap berpikir kotanya tidak sama dengan Jakarta, Shanghai, Tokyo,  Kuala Lumpur, Sydney, Hongkong, dll meskipun CBDnya didominasi arsitektur yang sama.

Saya pun salah satu yang menolak globalisasi yang telah banyak mengubah kota makin serupa dan makin banyaknya pendatang merubah budaya lokal dan kita kehilangan jati diri atau indentitas. Tapi ternyata profesor hanya mengatakan saya seorang yang berpikir conventional. Dia hanya mengatakan bukannya menarik bila kita berbeda atau heterogen. Bayangkan kita bisa makan apapun yang kita mau di kota global dari Vietnam, Jepang, Malaysia, Korea, Afrika, dll ada di sisi manapun di jalan. Betul semenjak globalisasi, kota lebih terbuka menerima sesuatu yang baru. Terus prof juga menambahkan, "jangan munafik, kita suka dengan gaya hidup yang serba mudah, nyaman  dan juga individualis di kota. Apakah bisa bila kita balik ke perdesaan dengan komunitas terlalu ingin tahu kegiatan tetangganya.

Akhirnya saya berpikir lagi sejenak, untuk apakah saya mencari arsitektur nusantara di indonesia, bila masyarakatnya sudah suka dengan apa yang diimport dari negara lain. Apakah saya menjadi seorang konventional seperti layaknya beberapa arsitek-arsitek senior di Indonesia yang selalu mencari identitas dari arsitektur nusantara yang semu. Apakah saya mulai menjadi budayawan yang tidak sadar budaya sudah berubah.
Pertanyaannya juga kenapa kita mau melihat masa lalu sedangkan kota selalu melihat kekinian dan kedepan. Berpikir hanya mendapatkan pertanyaan yang lebih banyak.

Sebenarnya pertanyaan ini dipertanyakan karena kita berusaha mencari identitas kita semenjak modernisasi terjadi atau hanyalah dikarenakan kerinduan dan nostalgia belaka untuk balik seperti masa lalu ketika masyarakat sekarang serba materialitis dan konsumtif karena faktor globalisasi.  Pertanyaan membuat saya membaca tentang Singapore dimana ada satu artikel juga dimana penulisnya mengungkapkan kota Singapore mencari indentitasnya yang susah didapat setelah kotanya didominasi pasar international dan arsitektur international. Yang menariknya indentitas yang dicari pemerintahnya hanyalah untuk mengejar nasionalisme belaka, agar rakyatnya bisa bangga bahwa mereka warga Singapura. Tentu saja dengan globalisasi yang serba sama, mereka mencari apa yang berbeda supaya dikatakan Singapura. Bila perlu indentitas ini direkayasa lagi dan dicari-cari dari sesuatu yang berbeda yang terjadi di keseharian masyarakatnya. Lagi-lagi dalam rekayasanya, Arsitektur iconiklah yang dicari untuk mendapatkan sumber devisa dari turis. Inilah perwujudan esplanade, marina bay sand, sentosa resort world...

Lagi-lagi kemunculan bangunan iconik ini muncul dimana-mana di seluruh kota global sebagai simbol identitas yang direkayasa. Dari Sydney opera house, Burj Kalifa, Taipei 101, Petronas tower, oriental pearl tower Shanghai, dll.

Pertanyaan yang sama ternyata dipertanyakan oleh Rem Koolhas dalam venice architecture Biennale 2014 tentang progres dari 100 tahun Global Arsitektur apakah kita menjadi sama dan tidak sehat dalam keadaan arsitektur saat ini. Atau apakah arsitektur merekonstruksi sendiri dalam hubungan dengan konteks terkinian.




concept diagram for national pavilion - dezeen


Sungguh menakutkan atau dirayakan melihat perkembangan diagram 100 tahun perbedaan arsitektur yang terjadi kota-kota dunia diatas ini.

Pertanyaan ini dijawab oleh tim Indonesia dengan tema ketukangan: kesadaran material. Pertukangan menjadi suatu proses umum yang terjadi di konstruksi Indonesia. Tukang disini bukan hanya sebagai labour atau pekerja murah yang tidak berpendidikan tinggi tapi bisa siapa saja yang terlibat dalam proses membangun. Dalam prosesnya mungkin sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan malah menjadi sesuatu kejutan dalam perwujudan arsitekturnya itulah pesan tim Indonesia.

Terjadi hubungan timbal balik antara arsitek dan tukangnya apakah terjadi karena minimnya pengetahuan membaca gambar konstruksi dari arsitek atau arsitek tidak sempat mengerjakan gambar kerja ini karena feenya yang selalu ditekan sehingga semua terjadi secara spontan sehingga dikerjakan langsung di lapangan dengan tukangnya. 

Lagi-lagi perwujudan ketukangan yang berbeda hanya terjadi di proyek-proyek kecil dimana proses pekerjaan masih kabur. Sangat berbeda bila mengerjakan proyek besar dengan semua keinginan perencana sudah jelas dan tukang hanyalah sebagai alat mewujudkan designnya. Kesalahan yang terjadi dalam design tidak mungkin menjadi sesuatu yang menarik, kesalahan tetap menjadi kesalahan. Inilah yang menentukan kualitas seorang arsitek yang berpengalaman dari mencegah kesalahah konstruksi dan bukan menjadi pekerjaan tambah.

Menjawab tema ketukangan apakah menjawab kesalahan arsitek dan ketidak pengalaman perencananya yang terjadi selama ini di Indonesia yang mengakibatkan try and error di lapangan sehingga hasilnya menjadi sesuatu yang unik. Atau dalam prosesnya tidak ada arsitek yang terlibat, hanyalah client dan tukangnya langsung. Meskipun begitu memang salut dengan materi yang disajikannya. 

Yang membuat saya berpikir kemudian apakah yang terjadi di Indonesia hanya sebatas pertukangan. Saya pikir banyak yang berbeda tapi belum teranalisa. Bila pun ada kesempatan, saya lebih tertarik menganalisa secara perkotaan. Perbedaan yang cukup tajam dari gap ekonomi antara si kaya dan si miskin di Indonesia telah menjadikan suatu ruang yang sama sekali berbeda. Munculnya perkampungan di kota dengan ruang yang acak tapi mempunyai keadaan self-organise bercampur dengan pola perumahan golongan menengah keatas yang teratur seperti pola perkotaan barat pada umumnya, munculnya pola kantong atau enclave pemukiman yang terjadi karena politik dari penghuninya, program yang sangat efektif di jalanan, sistim yang saling tumpang tindih karena perencanaan kota yang tidak terencana dengan baik, komunitas yang sangat heterogen yang terjadi, dll.

Apakah itu yang terjadi penolakan, perlawanan, konflik, adaptasi, asimilasi, peimporan, penengahan... masih banyak yang belum teranalisa. Apakah ini yang disebut sebagai residu atau sisa yang terjadi dikarenakan modernisasi dari globalisasi. Apakah pola inikah yang menjadikan kita berbeda dengan kota lainnya, masih banyak pr yang belum terjawab. Menurut saya bukanlah masa lalu yang kita selidiki untuk menjadikan arsitektur nusantara atau arsitektur Indonesia modern tapi penyelidikan kekinian yang berbeda karena residu ini. 
Takutnya pembangkitan tradisional masa lalu hanya sebagai penyelidikan arkeologi belaka dimana spiritnya sudah hilang diperkotaan kini. Bukannya penyelidikan ini tidak penting, tapi yang dicari adalah bagaimana mengembangkannya dengan konteks terkinian.









Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment