Kota besar di Indonesia sekarang ini banyak mempunyai masalah yang sama dalam hal infrastruktur, prasarana dan sarana yang kurang memadai. Sebagai contoh kurangnya ruang bermain anak, ruang terbuka hijau, jalan yang rusak-rusak, trotoar yang hancur, kurangnya tempat untuk komunitas sosial, kriminalitas yang tinggi, dll.

Berbagai masalah ini membuat masyarakat lebih tertarik untuk mencari rumah tinggal di cluster baru developer yang menawarkan keamanan 24 jam, jalanan dan trotoar yang tertata rapi dan didesign menarik, fasilitasnya yang lengkap seperti taman bermain anak, clubhouse, market, dll dibandingkan perumahan lama yang sudah tidak terawat.

Meskipun begitu, terdapat beberapa kelemahan juga bila membeli rumah di cluster perumahan baru developer seperti:

1.      Tidak ada kebebasan mengekspresikan keinginan pembeli terhadap style rumah dan layoutnya.

   Umumnya bila kita ingin membeli rumah di developer, kita diberikan beberapa brosur marketing dengan beberapa product rumah yang ditawarkan dari tipe 36/72, 27/60, dll dengan layout dan model rumah yang sudah ditentukan dari klasik, modern, tropical, dll yang tidak bisa kita ubah. 

   Developer tentu saja tidak mau bila tiap pembeli punya keinginan yang berbeda akan rumahnya dikarenakan memakan waktu lebih lama dalam prosesnya dan memberikan budget yang tidak terduga. Bilapun ada kavling tanah yang dijual, style rumah harus mengikuti sebelahnya. Memang ada beberapa pengembang yang hanya menjual kavlingnya tanpa bangunan di seluruh clusternya, tapi harganya biasanya dipasarkan sangat tinggi.

   Kadang-kadang ada beberapa pengembang merespon perbedaan tiap individu dengan memberikan beberapa option akan tampak yang berbeda tapi dengan layout yang sama. Tentu saja tampak ini bukanlah dari keinginan pembeli tapi hanya suatu pilihan. Kadang-kadang malah tampak yang berbeda ini membuat tampak perumahannya berantakan dan tidak ada kesatuan tema.

2.      Obral janji akan pengembangan kawasan di kedepannya dan fasilitas yang akan dibangun

   Banyak brosur-brosur master plan dari pengembang sekarang ini menawarkan suatu kota mandiri yang tertata rapi dengan sentra bisnis didepannya dari kantor-kantor yang tinggi dan modern, shopping centre, marketplace, clubhouse, restaurant terapung, sekolah dan juga ruang terbuka hijau dan taman bermain yang menarik.

   Kenyataannya ini hanya taktik pengembang untuk memancing ketertarikan pembeli. Ketika mereka sudah membeli rumah tinggal di cluster mereka, banyak fasilitas ini tidak dibangun-bangun, bahkan sampai banyak rumah tinggal sudah terbangun. Fenomena ini sering terjadi bila membeli rumah di developer kecil dengan modal pas-pasan dan dengan lokasi clusternya di pinggiran. ya.

   Perlu diingatkan, fasilitas-faslitas ini yang digunakan untuk penghuni sebenarnya tidak menguntungkan bagi pengembang. Banyak pengembang  ini menunggu aliran dana yang masuk dari pembeli dan baru stelah terkumpul mereka melaksanakan kewajibannya membangun fasilitas. Inilah mengapa banyak di forum di internet pembeli mengeluh lamanya pembangunan fasilitas tersebut.

3.      Tidak ada sense of place dan sense of neighborhood

   Perumahan baru tentu berbeda dengan perumahan lama yang telah berpuluh-puluh tahun ditempati oleh penghuninya. Perumahan lama cenderung terasa suasana bertetangganya dimana satu sama lain saling kenal dikarenakan sudah sering mengadakan acara komunitas bersama.

  Apalagi bila suatu perumahan sudah ditempati lebih dari beberapa generasi, tentunya banyak sekali memori dari yang baik dan buruk yang terjadi di berbagai lokasi di lingkungan perumahannya. Mungkin saja ingatan seperti acara gotong royong membersihkan taman dan jalanan, arisan di rumah si A, cerita di gang sempit si A dan si B pernah berantem, tetangga si C selalu duduk di depan rumahnya tiap pagi, ibu-ibu sering bergosip sewaktu jalan pagi, tukang sayur yang sering datang tiap pagi, dll. Kumpulan ingatan dari memori yang menyenangkan inilah yang bisa membuat orang merasa senang, kenal, nyaman dan betah tinggal di tempatnya sampai bertahun-tahun. Inilah yang disebut sense of place.

  Bila kita bandingkan dengan perumahan baru, sense of place dan neighbourhood tentunya belum ada dikarenakan penghuninya semuanya masih baru dan tidak saling kenal. Dibutuhkan banyak usaha dari komunitas dan pengelola untuk mengumpulkan dan membuat acara agar komunitas bisa saling kenal satu sama lain.

   Hal ini menjadi tidak mudah, apabila di perumahan tersebut, pengelola dan penghuninya sangat pasif sehingga meyebabkan warganya menjadi sangat individualis dengan artian masing-masing saja, tanpa mau tau apa yang terjadi di lingkungannya.
Apalagi dalam perumahan baru banyak pasangan muda yang tinggal, rasa individualis akan lebih terasa dikarenakan banyak sekali dari mereka tidak ada waktu untuk ikut komunitas dikarenakan keduanya sibuk mencari nafkah dan dalam weekend lebih senang menghabiskan waktunya pergi ke pusat pembelajaan.

  Bahkan ironinya pasangan muda lebih sering melihat rumah tinggal sebagai investment bukan untuk tinggal dalam artian kapan pun rumahnya bisa dijual apabila harga propertinya naik. Tentu dengan pemikiran ini, orang muda akan malas untuk bersosialisasi dengan tetangganya bila mereka hanya tinggal dalam waktu sebentar.

4.      Fenomena tiny house dengan design yang tidak bisa tumbuh

   Sekarang ini banyak pengembang demi mengejar keuntungan, banyak rumah kecil atau tiny house ditawarkan  untuk golongan pegawai menengah dengan tipe 54/32 atau 36/32, Tipe tersebut mempunyai tanah 4x8 m dengan luas dasar bangunan hanya 4x4 dengan halaman belakang yang sangat kecil dan sempit. Untuk memaksakan 2 kamar tidur, designnya tentu saja sangat kecil dengan ruangnya rata-rata 2x2 m seperti kamar pembantu. Sangat tidak mungkin bagi pembelinya untuk mengembangkan rumahnya bila anggota keluarganya bertambah dikarenakan tanahnya yang kecil. Tapi dikarenakan lokasinya yang strategis dan janji akan fasilitasnya, perumahan dengan tiny house ini bisa memikat banyak calon pembeli.





     Semenjak kemunculan media sosial, peranan arsitek telah berubah dratis terutama dalam strategi marketingnya. Banyak dari arsitek muda menggunakan media sosial seperti instagram, facebook, tweeter, youtube, pinterest, dll untuk mempromosikan dirinya beserta karya-karyanya. Perlombaan pun dimulai untuk mencari ketenaran dalam hal mencari banyaknya like atau follower yang didapat layaknya selebritis.
Tentu saja acara-acara seperti talk show, nongkrong atau ngopi bareng arsitek, pameran karya arsitek muda, dll sedang populer bagi arsitek-arsitek yang baru untuk berpatisipasi dan mempromosikan dirinya.

    Tidak seperti pendahulunya para arsitek yang sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun lebih rendah hati dalam menampilkan karya-karyanya. Bahkan bila tidah ada undangan untuk presentasi, mereka tidak banyak promosi diri. Bilapun promosi di media, lebih banyak di portfolio perusahaannya dan bukan pribadi arsiteknya sendiri. Bukannya promosi diri layaknya artis yang menampilkan fine art dari egonya masing-masing.

    Mungkin inilah yang sering disindir bahwa generasi muda arsitek banyak disebut instagram arsitek.  Apakah generasi arsitek muda sepeti layaknya generasi instan mtv yang ingin mengikuti fenomena Justin Bieber dengan instannya bisa terkenal dan mendapatkan banyak uang dari memasukkan video clipnya di media sosial.

   Memang tidak salah promosi di media sosial untuk memperlihatkan ke publik existensi kita, ketika proyek-proyek arsitektur kita didominasi oleh biro arsitektur besar. Tentu untuk bisa survive, promosi diri dan keahliannya yang terus-menerus adalah langkah awal mencari klient. Sayangnya yang sering ditampilkan adalah gambaran sepotong-sepotong dari 3d yang superrealitis dari proyek-proyek rumah mewah, komersial layaknya presentasi iklan properti yang kebanyakan hanyak mengikuti  dari keinginan klientnya memaximalkan penggunaan lahan.

    Tidak heran potongan 3d yang ditampilkan seperti mirip-mirip dengan image yang didapat di internet ataupun majalah arsitektur dan interior. Jarang sekali melihat arsitek generasi muda kita yang idealis dalam pencarian pendekatan arsitektur yang baru.
Mungkin inilah kestagnan arsitektur kita, kurangnya arsitek yang berpikir, tapi lebih banyak arsitek yang mencontek apa yang indah dan lagi tren di majalah atau media luar

Kita musti lebih banyak membuat pameran atau talk show yang mempunyai agenda atau tema yang isinya bisa berbagi pengetahuan bagi kalangan arsitek sendiri dan kalangan publik. Sepertinya moderator, kritikus, kurator banyak dibutuhkan saat ini untuk menyaring karya-karya yang hanya menampilkan keindahan semata atau ketenaran sesaat tanpa ada manfaat yang banyak bagi profesi dan publik.


Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home