Fenomena membeli hunian kecil sudah mulai menjadi hal yang umum di kota besar, terlebih dengan harga properti di kota besar yang sudah dibilang tidak wajar bila dibandingkan dengan penghasilan seorang pegawai. Sudah menjadi tren di kota besar, banyak pasangan muda lebih tertarik mencari apartemen yang luasan 20-45 m2 yang berlokasi di pusat kota karena dekat dengan pusat aktivitas dan tidak mau terkena macet.

Dengan rela dikotakkan dengan luas yang sempit, apartemen yang disebut shoe box ini laris manis di pasaran dengan harga masih terjangkau bagi pasangan muda. Bisa dibayangkan sempitnya unit apartment ini yang sebenarnya tipe studio tapi dipaksakan  menjadi tipe 2 kamar. Sudah bisa dibayangkan untuk menaruh furniture yang di beli dipasaran saja sudah membuat ruangan tambah penuh sesak dan sempit. Tapi jangan kuatir banyak cara mendesign dengan smart untuk menaruh perabot supaya terlihat lebih lega.

Salah satunya adalah menaruh semua kebutuhan kegiatan anda dalam satu lemari yang tampak seperti dinding seperti contoh urban apartemen dibawah ini

urban apartemen di puri indah oleh atelier daun arsitek

urban apartemen di puri indah oleh atelier daun arsitek

Di urban apartement ini terlihat lebih spacious dikarenakan semua peralatan dimasukkan dalam satu lemari seperti dinding. Aktivitas dari memasak, gudang, ruang baca, cuci baju dimasukkan dalam satu dinding lemari ini.. Terlihat mesin cuci digabung dengan dapur, dengan di sebelahnya tempat lemari buku, pajangan, tempat sepatu dan gudang. Supaya terlihat lebih urban dan playful raknya di apartemen ini dibuat seperti jendela rumah yang lancip dan dapurnya  memakai keramik berpola.

Perabot dan peralatan rumah tangga memiliki bentuk dan warna yang berbeda, bila anda tidak mengatur dimana anda meletakkannya, anda akan membuat apartemen kecil menjadi berkesan berantakan, sempit dan penuh warna yang tidak berkesinambungan. Ada baiknya bila anda ingin mengexpose beberapa peralatan seperti mesin cuci, oven, kulkas, atau peralatan dapur lainnya, anda mengseleksi warnanya untuk bisa senada dengan warna interior yang anda mau. 

Supaya lebih lega, anda juga bisa memilih warna perabot dan ruangan dengan warna tidak didominasi warna gelap (lebih banyak warna terang). Selain membuat lebih clean, bersih, modern anda juga bisa mengirit biaya listrik lampu karena warna terang lebih mudah memantulkan cahaya matahari sehingga ruangan menjadi lebih terang.

Supaya tampak smart dan tidak penuh, carilah perabotan yang bisa multifungsi dan bisa dilipat  yang ada di pasaran. 

wall bed dimana kasur bisa dilipat ke lemari dinding dan menjadi meja belajar (nooroofs architects - apartemen di new york)
Lemari yang berfungsi sebagai meja belajar

Bila anda punya budget berlebih anda bisa membongkar partisi pemisah ruangan anda dan digantikan dengan dinding lemari multifungsi yang bisa digeser dan berfungsi sebagai penyekat ruangan seperti yang dilakukan PKMN arsitek dibawah ini dari Madrid, Spain. Serunya apartemen ini dikarenakan ruangan yang terjadi bisa menjadi banyak fungsi dikarenakan semua perabotnya dimasukkan dalam lemari yang bergerak ini. Lihat saja contohnya dibawah ini, dengan melipat pintu lemari k ebawah, pintu penutup lemari bisa menjadi meja makan atau masak. Disini terlihat ranjang pun dilipat ke lemarinya dan semua lemarinya bisa digeser sampai ujung supaya ruangan menjadi kosong dan lega


Banyak jalan untuk menyiasati apartemen kecil menjadi enak dan spacious, tinggal bagaimana anda mengatur dan mendesignnya, selamat berexplorasi.



kesamaan dan pengulangan dari mass production arsitektur telah membuat suatu bentuk monster vertikal.
Hanya dalam beberapa tahun lagi, jakarta dengan ledakan penduduknya yang tinggi akan menyerupai dengan image yang diambil oleh fotografer Michael Wong dalam blognya yang berjudul architecture of density.


Sangat mengerikan dan patut untuk direfleksikan kembali.
Apakah kita sebagai arsitek hanya bisa melihat perubahan dari bentuk ruang perkotaan kita menjadi beton yang berulang dengan motif2 yang seragam, skala yang mengerikan dan tanpa bersahabat dengan ruang sekitarnya.

Sayangnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal yang sangat mendesak tidak sejalan dengan peraturan yang memadai dari pemerintah tentang kesehatan dan kenyamanan penggunanya. Apakah kita sudah meregulasikan kebutuhan standar yang benar dari satuan unit apartemen, kebutuhan pencahayaannya, sirkulasi udara, tempat komunitas bersama. Saya ragu, semuanya hanya diserahkan oleh developer yang mengejar efisiensi demi keuntungan saja.

Tak heran apartemen yang terjadi di Jakarta belakangan ini bakal menyerupai dengan apa yang terjadi dengan Hongkong...
    Susahnya mencari bangunan satu ini yang di design oleh Tadao Ando. Bayangkan untuk mencapai ke lokasi kita harus berangkat dari Kobe ke arah miko station selama sejam, lalu dilanjutkan dengan express bus ke Amaji island dan kemudian turun di salah satu bangunan mixused Tadao Ando yaitu Awaji Yumebutai. Selanjutnya baru naik lokal bus yang hanya datang tiap sejam sekali.
Sesampainya di halte bis masih harus jalan ke arah bukit.
Pintu masuk bangunan ini terletak di belakang temple lama dan kita harus mengitari dari samping ,melewati kuburan baru sampailah di water temple Tadao Ando

Tapi memang sesampai disana, proyek ini sangat berharga untuk dikunjungi. Benar-benar pengalaman membuka mata dengan ruang-ruang yang dibuat Ando.
Sebenarnya kalau kita lihat secara denah, bangunan ini cukup sederhana dimana komposisinya terdiri dari 2 garis yang satu garis lurus dan lainnya lengkung dijajarkan dengan bentuk oval kolam. Bentuk oval kolam ini ternyata mempunyai denah kotak di lantai bawahnya yang digabungkan dengan ovalnya. Denah kotak inilah yang menjadi inti dan puncak hirarki dari bangunan ini.





Apa yang menarik dari bangunan ini adalah pengalaman sequence ruang dan hirarki yang ditimbulkannya. Sequence dan hirarki yang dirancang Ando memang punya spirit dari tradisional Jepang. Bila anda berkunjung ke tempe Shinto Jepang, anda akan merasakan suatu pengalaman hirarki ruang yang sama.

Pertama kali bertemu dengan bangunan ini yang kita lihat hanyalah jalan setapak ke arah lubang sebuah dinding beton yang mempersiapkan anda untuk masuk suatu atmosfir atau suasana yang baru dan berbeda.
Pintu atau gerbang disini selain berfungsi sebagai pintu masuk juga berfungsi sebagai simbol bahwa anda akan masuk ke dunia yang lain. Menariknya di temple shinto terdapat gerbang kayu sebagai pintu masuk, Disini Ando hanya menampilan dengan dinding beton yang dibolongi sebagai pintu masuk.


Setelah memasuki gerbang, kita hanya melihat tembok beton kedua yang melengkung dan lantai batu putih. Suasana ini hampir sama dengan ruang peralihan antara gerbang di temple shinto dan bangunan utamanya, tapi Ando hanya merekayasa kembali dengan pemakaian dua material yang sederhana. Mungkin tujuan dari ruang ini sebagai suatu tempat perenungan, refleksi atau untuk menyiapkan diri sebelum masuk yang utama.



Setelah kita mengitari tembok beton yang melengkung, sampailah kita ke kolam oval ini. Yang pintarnya kolam ini sangat  kontekstual dengan sekelilingnya. Selain merefleksikan pantulan landscape dari perbukitan di sekelilingnya, kolam ini memang sesuai dengan landscape di daerah ini yang banyak waduk-waduk kecil. 



Barulah setelah mengelilingi kolam kita masuki suatu jalan turun menembus ditengah-tengah kolam tersebut dan merasakan dari dekat efek refleksi pantulan kolam. 




Dengan rasa penasaran kita turun perlahan-lahan menanti kejutan ruang apa lagi yang ada setelahnya. Setelah turun kita hanya melihat dan mengitari lorong yang gelap dengan pemakaian dua material dinding yang berbeda yaitu beton dan kayu yang dicat merah. Apakah mungkin dinding kayu yang dicat merah ini terinspirasi dari tradisi temple Budha di Asia yang sering memakai warna merah, tapi yang jelas pemakaian dua material yang berbeda ini sangat menimbulkan kontras bahwa ada sesuatu yang penting di dalam dinding kayu merah ini.



Benarlah dugaan saya, ada suatu temple Budha di dalam dinding kayu merah ini, Sejenak kita duduk dan merenungkan perjalanan ruang ini dan berdiam diri di ruang yang tenang ini. Memang sungguh tenang bila saya sebagai pengikut Budha dan berdoa di ruangan ini. Menariknya hanya patung Budha ini yang memiliki penerangan alami dari belakangnya seperti Budha yang memancarkan sinar kebajikannya.



Akhir perjalan sebelum kembali ke arah jalan yang sama, saya melihat kembali cahaya yang menyinari kayu bolong-bolong ini yang juga sumber cahaya yang sama yang menyinari patung Budha di sisi dalamnya. Sungguh pengalaman menarik dari ruang-ruang Ando.





Perjalanan melihat karya Junga Ishigami sebagai arsitek muda Jepang yang baru-baru ini lagi terkenal memang sangat mengispirasi.
Bila kita perhatikan denah, terlihat  posisi kolom didesign secara acak seperti pola pohon yang berkembang alami. Menariknya kolom ini dibuat setipis mungkin dan sengaja mengelilingi ruang kosong untuk beberapa kegiatan. Elemen titik dari kolom disini didesign saling merapat dan berkesan menjadi suatu elemen garis yang membatasi dan mengelilingi beberapa ruang

Sayangnya karena kegiatan workshop yang sangat acak  dan tidak mengikuti ruang yang telah disediakan, efek ruang kosong yang ditimbulkan menjadi kurang terasa. Banyak karya yang besar yang dibuat oleh mahasiswa di gantung di ceilingnya dan ditaruh dimana-mana malah memperparah efek ruang. Memang susah antara fungsi dari workshop yang menjadikan sebagai gudang dan tempat praktek yang tidak punya posisi jelas dalam melakukan kegiatannya berkompromi dengan konsep awal dari arsiteknya.





Yang saya rasakan ketika masuk di ruang ini hanya melihat kolom yang disusun acak dan tidak merasakan ruang yang ditimbulkannya. Mungkin dikarenakan kolomnya kurang banyak dan jarak kolom dengan kolom ini belum cukup rapat sehingga bener-benar terlihat sebagai pembatas .

Saya sejenak berpikir bila  ruang ini difungsikan sebagai museum atau galery mungkin lebih sesuai mengikuti ide awalnya. Ketika objek yang ditampilkan hanya ditaruh di pusat ruang kosong tersebut, efek ruang ini bisa lebih terasa dan pengunjung akan lebih menghargai dan menikmati kolom-kolom yang disusun acak ini. Meskipun begitu idenya memang bagus yang tidak memposisikan kolom seperti bangunan umumnya. Tidak heran Junga Ishigami sebagai salah satu arsitek yang berbakat Jepang.


Ketika saya masih kuliah M.Arch beberapa tahun yang lalu, ada satu kuliah yang menarik tentang global city. Ketika arsitektur menjadi suatu bentuk kesamaan dari international style dan masyarakat yang sudah global, apakah yang membedakan setiap kota di dunia? pertanyaan tentu timbul dengan kota metropolitan Jakarta, apakah yang terjadi dengan masyarakat dan arsitekturnya menghadapi globalisasi. Tentu pertanyaan lainnya apakah kontektual dalam mendesign sudah tidak berlaku dan kita bisa seenaknya mengimport gaya arsitektur dari negara apapun untuk hadir di kota global.

Berbagai isu kita lalui seperti aktor yang terlibat di kota global dimana orang lokal hanya ditentukan dari pemegang ijin tinggal atau visa. Aktor yang datang sebagian besar adalah pendatang dengan membawa budaya yang berbeda-beda yang hanya memakai rumah sebagai tempat tinggal sementara dan nomaden. Gentrifikasi yang terus menerus sehingga demografi penduduk yang terus berubah. Sektor perekonomian yang cenderung berubah dikarenakan pasar dunia yang selalu berubah.

Diskusi dan diskusi kita lalui. Yang paling menarik diperbincangkan adalah meskipun beberapa setuju kesamaan yang terjadi tapi ada beberapa mahasiswa international tidak setuju dengan pendapat ini dan bahkan ada yang menolak terjadinya globalisasi. Beberapa yang tidak sependapat dengan kesamaan ini berpendapat bahwa kotanya meskipun sama dalan arsitektur modernnya tapi tetap berbeda kesan yang terjadi. Meskipun mereka belum tahu apa yang membuat berbeda, mereka tetap berpikir kotanya tidak sama dengan Jakarta, Shanghai, Tokyo,  Kuala Lumpur, Sydney, Hongkong, dll meskipun CBDnya didominasi arsitektur yang sama.

Saya pun salah satu yang menolak globalisasi yang telah banyak mengubah kota makin serupa dan makin banyaknya pendatang merubah budaya lokal dan kita kehilangan jati diri atau indentitas. Tapi ternyata profesor hanya mengatakan saya seorang yang berpikir conventional. Dia hanya mengatakan bukannya menarik bila kita berbeda atau heterogen. Bayangkan kita bisa makan apapun yang kita mau di kota global dari Vietnam, Jepang, Malaysia, Korea, Afrika, dll ada di sisi manapun di jalan. Betul semenjak globalisasi, kota lebih terbuka menerima sesuatu yang baru. Terus prof juga menambahkan, "jangan munafik, kita suka dengan gaya hidup yang serba mudah, nyaman  dan juga individualis di kota. Apakah bisa bila kita balik ke perdesaan dengan komunitas terlalu ingin tahu kegiatan tetangganya.

Akhirnya saya berpikir lagi sejenak, untuk apakah saya mencari arsitektur nusantara di indonesia, bila masyarakatnya sudah suka dengan apa yang diimport dari negara lain. Apakah saya menjadi seorang konventional seperti layaknya beberapa arsitek-arsitek senior di Indonesia yang selalu mencari identitas dari arsitektur nusantara yang semu. Apakah saya mulai menjadi budayawan yang tidak sadar budaya sudah berubah.
Pertanyaannya juga kenapa kita mau melihat masa lalu sedangkan kota selalu melihat kekinian dan kedepan. Berpikir hanya mendapatkan pertanyaan yang lebih banyak.

Sebenarnya pertanyaan ini dipertanyakan karena kita berusaha mencari identitas kita semenjak modernisasi terjadi atau hanyalah dikarenakan kerinduan dan nostalgia belaka untuk balik seperti masa lalu ketika masyarakat sekarang serba materialitis dan konsumtif karena faktor globalisasi.  Pertanyaan membuat saya membaca tentang Singapore dimana ada satu artikel juga dimana penulisnya mengungkapkan kota Singapore mencari indentitasnya yang susah didapat setelah kotanya didominasi pasar international dan arsitektur international. Yang menariknya indentitas yang dicari pemerintahnya hanyalah untuk mengejar nasionalisme belaka, agar rakyatnya bisa bangga bahwa mereka warga Singapura. Tentu saja dengan globalisasi yang serba sama, mereka mencari apa yang berbeda supaya dikatakan Singapura. Bila perlu indentitas ini direkayasa lagi dan dicari-cari dari sesuatu yang berbeda yang terjadi di keseharian masyarakatnya. Lagi-lagi dalam rekayasanya, Arsitektur iconiklah yang dicari untuk mendapatkan sumber devisa dari turis. Inilah perwujudan esplanade, marina bay sand, sentosa resort world...

Lagi-lagi kemunculan bangunan iconik ini muncul dimana-mana di seluruh kota global sebagai simbol identitas yang direkayasa. Dari Sydney opera house, Burj Kalifa, Taipei 101, Petronas tower, oriental pearl tower Shanghai, dll.

Pertanyaan yang sama ternyata dipertanyakan oleh Rem Koolhas dalam venice architecture Biennale 2014 tentang progres dari 100 tahun Global Arsitektur apakah kita menjadi sama dan tidak sehat dalam keadaan arsitektur saat ini. Atau apakah arsitektur merekonstruksi sendiri dalam hubungan dengan konteks terkinian.




concept diagram for national pavilion - dezeen


Sungguh menakutkan atau dirayakan melihat perkembangan diagram 100 tahun perbedaan arsitektur yang terjadi kota-kota dunia diatas ini.

Pertanyaan ini dijawab oleh tim Indonesia dengan tema ketukangan: kesadaran material. Pertukangan menjadi suatu proses umum yang terjadi di konstruksi Indonesia. Tukang disini bukan hanya sebagai labour atau pekerja murah yang tidak berpendidikan tinggi tapi bisa siapa saja yang terlibat dalam proses membangun. Dalam prosesnya mungkin sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan malah menjadi sesuatu kejutan dalam perwujudan arsitekturnya itulah pesan tim Indonesia.

Terjadi hubungan timbal balik antara arsitek dan tukangnya apakah terjadi karena minimnya pengetahuan membaca gambar konstruksi dari arsitek atau arsitek tidak sempat mengerjakan gambar kerja ini karena feenya yang selalu ditekan sehingga semua terjadi secara spontan sehingga dikerjakan langsung di lapangan dengan tukangnya. 

Lagi-lagi perwujudan ketukangan yang berbeda hanya terjadi di proyek-proyek kecil dimana proses pekerjaan masih kabur. Sangat berbeda bila mengerjakan proyek besar dengan semua keinginan perencana sudah jelas dan tukang hanyalah sebagai alat mewujudkan designnya. Kesalahan yang terjadi dalam design tidak mungkin menjadi sesuatu yang menarik, kesalahan tetap menjadi kesalahan. Inilah yang menentukan kualitas seorang arsitek yang berpengalaman dari mencegah kesalahah konstruksi dan bukan menjadi pekerjaan tambah.

Menjawab tema ketukangan apakah menjawab kesalahan arsitek dan ketidak pengalaman perencananya yang terjadi selama ini di Indonesia yang mengakibatkan try and error di lapangan sehingga hasilnya menjadi sesuatu yang unik. Atau dalam prosesnya tidak ada arsitek yang terlibat, hanyalah client dan tukangnya langsung. Meskipun begitu memang salut dengan materi yang disajikannya. 

Yang membuat saya berpikir kemudian apakah yang terjadi di Indonesia hanya sebatas pertukangan. Saya pikir banyak yang berbeda tapi belum teranalisa. Bila pun ada kesempatan, saya lebih tertarik menganalisa secara perkotaan. Perbedaan yang cukup tajam dari gap ekonomi antara si kaya dan si miskin di Indonesia telah menjadikan suatu ruang yang sama sekali berbeda. Munculnya perkampungan di kota dengan ruang yang acak tapi mempunyai keadaan self-organise bercampur dengan pola perumahan golongan menengah keatas yang teratur seperti pola perkotaan barat pada umumnya, munculnya pola kantong atau enclave pemukiman yang terjadi karena politik dari penghuninya, program yang sangat efektif di jalanan, sistim yang saling tumpang tindih karena perencanaan kota yang tidak terencana dengan baik, komunitas yang sangat heterogen yang terjadi, dll.

Apakah itu yang terjadi penolakan, perlawanan, konflik, adaptasi, asimilasi, peimporan, penengahan... masih banyak yang belum teranalisa. Apakah ini yang disebut sebagai residu atau sisa yang terjadi dikarenakan modernisasi dari globalisasi. Apakah pola inikah yang menjadikan kita berbeda dengan kota lainnya, masih banyak pr yang belum terjawab. Menurut saya bukanlah masa lalu yang kita selidiki untuk menjadikan arsitektur nusantara atau arsitektur Indonesia modern tapi penyelidikan kekinian yang berbeda karena residu ini. 
Takutnya pembangkitan tradisional masa lalu hanya sebagai penyelidikan arkeologi belaka dimana spiritnya sudah hilang diperkotaan kini. Bukannya penyelidikan ini tidak penting, tapi yang dicari adalah bagaimana mengembangkannya dengan konteks terkinian.









     The story of I.M.Pei as an architect was a story of  a man who known to public as an elegant, charming, thoroughly diplomatic individual, and has a gift with the powerful. As his fate to be a tribute a lot of  important person in history, his story can be associated with a classic fairy tale story about Merlin, King Arthur’s witch as an important advisor. In 1970s, when I.M Pei and number of associates had a working trip to Iran, they were persuaded to seek out a local fortune teller. The fortune teller rapidly impressed them for his correct assessment of  Pei : “He is very interested in meeting kings and queens”. People who worked with I.M Pei often mention that he was easily to know within a minutes who the influential person is and which are the key occasions in the room. Other colleagues said he was a sales man architects, he has a gift to negotiate to the clients and know about priorities at the beginning of conversation.

      Ieoh Ming Pei which known as I.M.Pei was a son  of  a prominent banker, he raised in Shanghai and China. Then, at the aged of  17, he went to United states to study architecture in MIT. In 1942, he continued his study under Walter Gropius influence in Harvard Graduate School of Design, and completed his M.Arch in 1946. He became an assistant professor between1945 to 1948. I.M.Pei became a naturalized citizen of the United States in 1954. Before established his own firm, he worked to William Zeckendorf  whom gave Pei a taste of commercial realities and large scale urban practice. Although I.M.Pei learned at Bauhaus influence with anti-historical, he did not totally embrace the philosophy. And when, the post-modernist  counter movement began to stall, he found his aesthetic comfortably. He remains devoted to simple, rigorous, sculptural geometry forms in modernist tradition. Beyond that, he also studies the site with care and seeks how the building to fit into a larger urban or landscape composition. (Wiseman,C 1990)     
                                                                   
        In the legend of  King Arthur in Britain, the king had the help and advice of a powerful wizard named Merlin. Merlin predicted that a young Arthur will become a great king and united all Britain. The wizard fashioned the magical sword  excalibur which proved that Arthur was the rightful king. According to the story, he also created the round table around which Arthur’s knight sat. He is the trusted adviser and helper of Arthur’s kingdom, although he could not prevent the fall of Arthur. The architect’s biography has a similar story with Merlin. As if  Merlin give a magical sword of excalibur to Arthur, I.M Pei had done his magic in louvre museum project in France for Francois Mitterrand, president of France. The Louvre project was the most  important project of I.M Pei. It was commissioned by Emile Biasini, a Mitterrand's right hand on the louvre after he made a strong impression in Pei's East Building on his museums touring in the United States. Before Pei accepted the offering, he asked for four month to study the possibility and problems to alter the louvre. He subsequently made three trips to Paris, staying for a weeks at the hotel Crillon, a short walk from the museum. The architect investigated the history of  Louvre, France and given a laissez-passer to go anywhere he wanted in the Louvre. Back in New York, he set a team of architects for this project. The team was Pei's son Didi, Yann Weymouth, Leonard Jacobson. Most of them had worked with him in East Building.

       Pei saw the challenges to design this project. Firstly, its position as historical site at the central of Paris  which links the Louvre to the Arc de Triomphe. Its alteration would have an impact on the heart of the city. Secondly, the Louvre required a lot of additional space to accommodate their collection. Lastly, the issue how to enter the museum as it had u-shaped three wings and Cour Napoleon, the open area between the wings. The solution of this issues was by excavating the Cour Napoleon to get  more additional space beneath it and by locating the entrance in the central of the court. Although it could bring visitors close to all three wings, Pei could not dig very deep as the river was so close. The idea of a glass pyramid at the center of the court came after he studied of seventeenth-century classical French’s landscape design. It also accomodate the need of a high transparent roof  to avoid subway station effect. The neutral and basic geometric shape of pyramid would not compete and intrude only minimally on the view of the existing buildings. He also added three smaller glasses pyramid above the passageways on each building to orient visitors and bring in light.  The main pyramid were 116 feet on side and 71 feet high and the three smaller pyramids were 26 feet on  side and 16 feet high. Then, he added reflecting pools and fountains surrounding the main pyramid which reclaimed the courtyard as an active urban space.

       Finally, Pei invited Biasini to New York to see their final design. After Biasini studied the model, he liked the idea of  the design and asked him to present it to the commission Superieure des Monuments Historiques, an advisory group dedicated in matters of  Paris landmarks. On January 23, 1984, with confidence that the design would  be well  received by the French public, Pei and his teams departed to Paris for the presentation. The result was far from their expectation, the committee condemning the project and denounced it as something that was “outside our mental space, gigantic, and ruinous gadget”. Two days after the meeting, many critics responded to the Louvre project, such as a member of French academy wrote that the pyramid would be “an atrocity” and accused Mitterrand of “despotism”, Le Monde headline the story of ‘the house of the dead’ and compared to Pei’s design to ” an annex to Disneyland”, and Le Figaro magazine condemned it as simply “inadmissible”. (Jodidio, P.  2008)

      Pei estimated that 90 percent of Parisians opposed his design. He received many angry glances in the streets of Paris and some carried nationalistic overtone that dislike the architect was not  French, but a Chinese-American. Although, Pei and his team had a support from Mitterrand, Mitterrand’s socialists had feared would losing power to Chirac, a conservative coalition leader. Soon, they got supported from several key cultural icons, including the conductor Pierre Boulez and Claude Pompidou, widow of Georges Pompidou, former French president. As Chirac asked, Pei built a full-sized cable model of the pyramid in the courtyard to exhibit for French people. Many people were surprised that it was not as large as they feared. The most dramatic part during construction was in the construction and the material of glass pyramids. Finding the suitable clear glass was not that easy as it needs a small amount of  iron-oxide.  Pei using a clear glass made of pure white sand from a quarry in Fountainebleau, after extensive consultations with French manufactures. In pyramid’s construction, he used a steel spider-web made up of  128 crisscrossing girders secured by 16 thin cables that support the 675 diamond-shaped and 118 triangular panes to minimize any obstructions to the view through the pyramid. Because the exterior was so pristine and the interior surface so difficult to reach, he hired a team of trained mountaineers.

      The new Louvre was opened on October 14, 1988 and the pool showed that 56 percent in favor of the pyramid, with only 23 percent against after the opening. The French’s magazines which previously against it become soften and adore the pyramid. Some observer was compared the flip-flop in official opinion with the Eiffel tower and the Britain’s Prince Charles pronounced Pei’s work “marvelous, very exciting”. Once again Mitterrand prevailed at the polls and conferred on Pei the Legion d’Honneur.

      Pei as an architect investigates every challenge to his design, and with  brave heart, he takes the challenges and try to solve its problems. He takes responsibility to his design and always involved himself in many major as well as minor decisions of the buildings. For the Louvre, he was even more attentive than usual to give his client, Mitterrand a magic of the pyramid, likewise Merlin give Arthur the Excalibur sword and help him to be a trusted and great king of Britain.

Reference List

Jodidio, P.  2008, I.M.Pei : complete works, Publishers Group UK ,New York.
Pei Cobb Freed &  Partnerts Architects llp, viewed 20 August 2012.
      <http://www.pcf-p.com/>
Wiseman,C 2001, the architecture of I.M.Pei, Thames & Hudson, London.
Wiseman,C 1990, I.M.Pei : a profile in American architecture, H.N. Abrams, New York.



Siapa yang tidak ingin mempunyai rumah sendiri sebagai tempat untuk berkeluarga dan istirahat setelah seharian bekerja. Tapi kenyataan berbicara lain untuk kalangan pekerja di Jakarta.
Jakarta termasuk kota yang mahal untuk ditinggali.

Banyak dari pekerja yang mempunyai gaji bisa dibilang standart yaitu berkisaran 1.5 juta sampai 5 juta hanya bisa memimpikan bisa punya rumah di Jakarta. Banyakan dari mereka terpaksa tinggal di rumah sewaan atau kos-kosan di daerah sekeliling Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, Cibubur atau pun Bogor. Rela macet-macetan selama lebih dari 2 jam pergi bekerja di pusat Jakarta. Pergi ke kantor sangat pagi dan pulang dari kantor sangat malam. Adapun dari mereka rela menghabiskan setengah atau lebih gaji mereka hanya untuk sewa ruang kecil di Jakarta.
Bahkan sekarang karena tambah padatnya Jakarta, harga di daerah sekeliling Jakarta, harga rumah sudah terbilang tidak masuk akal juga.


Apakah Jakarta warganya kebanyakan orang berduit?

Bayangkan untuk memiliki properti di Jakarta bisa mulai dari 500 juta keatas. Itupun hanya harga apartemen murah tipe studio dengan luasan yang sangat kecil sekitar 25 m2 untuk yang termurahnya. Untuk memiliki rumah dengan tanah iyupun di daerah yang bukan elit, harganya sudah mulai dari 800 jutaan.

Sekarang yang tambah miringnya, harga-harga tanah di luar Jakarta seperti di daerah BSD, cibubur, sentul sudah makin bersaing dengan properti di Jakarta. Untuk mempunyai properti rumah di daerah cluster developer di tempat ini harganya mulai dengan 800 juta ke atas dan lokasinya juga sudah dibilah jauh dari pusat Jakarta.

Hitung-hitung dengan simulasi KPR untuk ukuran 20-30 tahun, anda harus membayar DP sekitar 50 juta pun kreditan tian bulan bisa mencapai 6-8 juta. Ini yang tidak masuk akalnya, gaji rata-rata standart pegawai Jakarta yang telah saya sebutkan sebelumnya apa mampu mempunyai properti ini.

Apa bisa kita tarik kesimpulan bahwa warga Jakarta mayoritasnya orang-orang berduit yang bisa memiliki properti ini. Tapi herannya, bila penulis tanya rumah di developer terkenal ini bilangnya sudah mau sold out semua dan harga akan naik lagi.  Memang benar, entah kenapa ajaibnya perumahan baru ini apalagi di Jakarta bisa cepat ditempati.


Rumah sebagai investasi

Dengan perasaan heran dan bertanya-tanya kok bisa ya warga Jakarta ini mempunyai properti-properti mahal ini.
Penulis iseng-iseng mengobrol dengan seorang ibu yang mau membeli properti rumah 2 kamar sekitar 700 jutaan di cluster developer. Setelah diajak bicara, ibu ini mengaku sedang mencari anaknya yang baru kawin rumah tinggal. Sewaktu saya tanya apakah pekerjaan anaknya, mulailah ibu ini bercerita bahwa anaknya bekerja sebagai seorang pegawai swasta di bank setelah lulus dari jurusan ekonomi.
Lama-kelaman bercerita, barulah ibu ini mengeluh tentang gaji anaknya yang kecil dan susah naiknya meskipun lama kerja. "Kalau saya tidak membelikan, kapan dia kesampaian beli rumah yang tiap tahun naiknya hampir dua kali lipat, ya hitung-hitung saya memberikan modal untuk dia bisa hidup kedepannya, jadi saya tenang kalau saya sudah tidak ada" katanya. Wah saya bilang, andaikan saya anak ibu, saya sudah tidah usah pusing-pusing mikirin KPR lagi.

Saya berbicara lagi dengan seorang bapak yang juga mau membeli properti yang sama. Dia bilang kalau dia mau mencari keuntungan dengan investasi properti. Bapak ini bercerita bahwa bisnis sewa menyewa properti atau menjual rumah sekarang menguntungkan. Baru-baru ini dia menjual propertinya yang dulu hanya sekitar 600 juta menjadi dua kali lipatnya hanya dalam kurun waktu setahun. Sekarang dia berkeinginan untuk menyewakan properti barunya sekitar 50 jutaan setahun. Saya berpikir kembali, bapak ini beruntung sekali, sekarang dia hidupnya hanya menunggu uang sewa saja.


Tidak terkendalinya kenaikan harga properti

Mungkin ini bukan cerita yang baru, tapi sudah sering dikeluhkan oleh bloger yang lain. Beberapa bloger bercerita tentang taktik pengembang yang suka-sukanya menaikkan harga properti tanpa ada kompromi dengan pembelinya. Dari harga pembuka ketika dipasarkan lebih rendah lalu tiba-tiba dinaikkan beberapa puluh juta sampai ratusan juta setelah permintaan meninggi. Kadang-kadang kenaikkan harga ini tidak didasari dari kenaikan harga bahan bangunan atau inflasi yang terjadi. Tapi semata-semata taktik developer yang menakuti pembelinya agar tergesa-gesa membeli propertinya sebelum harga makin naik atau akan diberikan bagi pembeli yang lain.

Kurangnya perlindungan hukum dan program rumah murah dari pemerintah menyebabkan developer menjadi diatas angin. Developer sekarang bisa suka-suka menaikkan harga, tidak menyelesaikan waktu penyerahan rumah seperti yang dijanjikan, mengurangi kualitas material karena mereka tahu bahwa permintaan rumah sangat tinggi dan pembeli tidak bisa apa-apa. Hebatnya juga kadang-kadang kredit sudah jalan setengahnya tapi rumah yang dijanjikan masih juga belum selesai (ini biasanya terjadi pada developer kecil dengan model pas-pasan).

Perlombaan menaikkan harga rumah dan tanah ini juga bukan hanya dari pihak developer semata, tetapi dari masyarakat sendiri. Masyarakat yang mulai serakah mencari keuntungan dari jual tanah atau rumah berupaya menaikkan harga yang tidak kira-kira dari batas wajar dan lalu diikuti dengan tetangganya yang juga ikut-ikutan fenomena ini.

Seharusnya  kita belajar dari pemerintah Singapore dimana program rumah rakyat yang terjangkau yang dikenal HDB sudah berjalan mengimbangi developer perumahan. Karena program ini developer tidak bisa seenaknya menaikkan harga kecuali mereka mempunyai kualitas dan service yang lebih baik dari perumahan  umumnya. Pemerintah pun mudah mengontrol kenaikkan properti supaya tidak berimbas ke masalah perekonomian dari banyaknya kredit macet.

Menariknya peraturan pemerintah Singapore juga melarang untuk yang sudah memiliki rumah atau apartemen dari developer untuk mempunyai HDB ini. Tapi sebaliknya, bila sudah memiliki HDB, pemilik boleh memiliki private properti bila sudah menempati HDBnya selama 5 tahun. Dengan cara ini pemerintahnya menjaga supaya banyak orang berduit tidak membeli banyak properti yang menyebabkan warganya yang pas-pasan tidak kebagian jatah rumah.

Global city untuk siapa?

Beberapa isu ini memang bisa dibilang terjadi di kota-kota besar lainnya  yang disebut global city. Kota dimana kemajuan ekonomi lebih dinomorsatukan dan didominasi oleh sektor service yang punya hubungan international. Jakarta adalah salah satu global city yang mempunyai isu yang sama dengan Jepang, Hongkong, Singapore, Sydney, dll.

Dikarenakan Jakarta dijadikan baik pusat bisnis international atau nasional, maka penduduknya pasti pulang pergi ke pusat kota seperti yang terjadi di kota global lainnya. Pusat kota menjadi sangat penting dan tentu saja harga tanahnya menjadi sangat tinggi. Terlebih dikarenakan prasana dan sarana yang baik, pusat kota menjadi yang paling banyak dicari. Banyakan penduduk Jakarta yang mempunyai properti di kawasan strategis di Jakarta adalah orang yang sukses berbisnis secara international maupun national.

Kondisi inilah menyebabkan orang yang tidak mampu tersingkir ke luar kota. Hanyalah orang yang berduit yang mempunyai properti di kota. Inilah wujud kota kapitalis modern dimana ekonomi sebagai tolak ukur. Beberapa masalah seperti gentrifikasi, kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, individualisme, dll mulai terjadi di masyarakat. Bahkan di global city yang lain, penduduknya sudah banyak yang bukan lokal yang tinggal di pusat kota tapi orang-orang dari luar negeri yang berinvestasi di negara tersebut atau expatriat.

Gentrifikasi disinilah juga yang membuat kenaikan harga makin tidak terkendali dimana yang berduit membeli properti perumahan di tempat penduduk yang kurang makmur, Selanjutnya mereka akan mengelolahnya menjadi cluster elit dan menjualnya dengan harga tinggi.
Beberapa langkah telah dilakukan oleh para kritikus kota, arsitek, budayawan dan kalangan umumnya untuk mencegah gentrifikasi ini seperti program perbaikan kampung, peremajaan lingkungan, penyuluhan masyarakat. Tapi sayangnya aktor-aktor yang terlibat hanyalah sedikit. Dibutuhkan lebih banyak kritikus kota dan arsitek untuk dilibatkan  yang seharusnya diajarkan semenjak akademik sehingga lulusan baru dari bidang ini tidak terjebak oleh pencarian duit semata di bidang developer.

Akhir kata inilah beberapa pemicu terjadinya kenaikan harga-harga rumah yang tidak masuk akal ini. Mungkin saja ini hanya sebagian kecil yang bisa terbahas dan masih banyak lagi faktor lainnya. Sebenarnya beberapa isu membutuhkan peranan Pemerintah yang seharusnya lebih banyak berkonsultasi dengan pakar-pakar di bidang perkotaan untuk menjawab persoalan ini. Tapi Pemerintah juga tidak bisa apa-apa bila didukung dari masyarakat sendiri. Mudah-mucahan dengan tulisan ini bisa membawa pedebatan dan diskusi yang lebih sehingga hasilnya bisa membawa dampak harga rumah lebih terjangkau dengan pendapatan pegawai.


Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home