Seratus tahun setelah Adolf loose menyatakan  “ornament is crime” dengan analoginya yang mencontohkan manusia modern yang menganggap orang papua yang bertato dengan objek-objek sekeliling mereka yang berdekorasi adalah suatu masyarakat yang tidak beradab dan ketinggalan. Pahamnya telah menginspirasi arsitektur modern yang beranggapan bentuk modern adalah bentuk yang murni, bersih dan  terbebas dari ornamen dengan alasan bahwa ornamen adalah suatu budaya masa lalu atau yang primitive  yang harus dihilangkan  untuk menuju suatu masyarakat yang modern. 

    Aliran-aliran arsitektur modern ini juga berkembang di Indonesia sendiri  yang  dibawa oleh para pelajar arsitektur indonesia yang pertama kali balik dari eropa. Tapi banyak dari mereka meskipun terpengaruh dari paham modern yang bersih dan polos tidak begitu saja membuat bentuk yang benar-benar bersih dan murni tetapi berkembang dengan mengadaptasi iklim tropis seperti karyanya Frederich Silaban  

    Silaban disini mencoba mencari apakah arsitektur indonesia modern ketika di zaman itu diperlukanlah suatu arsitektur yang membawa Indonesia untuk lepas landas ke era yang baru setelah merdeka. Misi yang sulit dari Soekarno untuk memperlihatkan Indonesia kepada dunia bahwa kita telah bergerak menuju bangsa yang maju dan modern. Pertanyaan yang susah tentu apakah arsitektur Indonesia modern sendiri? kita memiliki arsitektur tradisional yang berbeda-beda dari sabang sampai merauke dan bila kita hanya mengexploitasi satu arsitektur tradisional hanya akan memecah persatuan kita, bagaimana kita memperlihatkan identitas yang baru kita pada dunia.

kantor pusat Bank Indonesia - Frederich Silaban dengan pola kisi-kisinya sebagai respon iklim tropis dan juga terlihat sebagai ornamen 

    Cara berpikir disini tetap memperlihatkan bahwa suatu yang tradisional disini adalah suatu masa lalu, kita butuh suatu yang baru untuk memperlihatkan kita telah berubah dan siap lepas landas. Tapi konflik kepetingan terlihat juga disini, dalam satu hal kita mau menjadi modern tapi di lain hal kita mau memperlihatkan identitas dan jati diri kita yang berbeda dari negara lain. 

   Pertanyaan ini dijawab oleh Silaban bahwa spirit arsitektur tradisional adalah cara merespon terhadad iklim tropikal. Dengan membuat arsitektur modern dengan tanggap dengan iklim kita bisa mewujudkan arsitektur indonesia modern. Tapi sayangnya yang dilupakan disini adalah bukan kita saja negara yang berada di satu garis iklim tropis. Malaysia, Thailand, Vietnam dan Singapura juga masih dalam satu iklim. 

   Ketika fundamental yang dicari adalah arsitektur kita seharusnya beratap, orientasi utara selatan, memaksimalkan cross ventilasi, menahan panas matahari yang langsung hanyalah respon sustainability dari bangunan dan tidak bisa mencerminkan identitas kita karena bisa saja respon terhada iklim ini menjadi sama dengan negara tetangga. Bila kita balik lagi terhadap ornamen, ketika Silaban mencoba mengekplorasi tampak bangunan yang merespon iklim tropis disadari atau tanpa disadari tampaknya malah seperti suatu ornamen yang diulang-ulang yang terintegrasi dengan strukturnya.

   Setelah beberapa dekade arsitektur modern memimpin timbulah perlawanan terhadap modern dari paham post modern arsitektur dimana beranggapan modern telah menghilangkan konteks lokasi, sosial, budaya setempat dengan memaksakan pahamnya. Paham post modern mengembalikan kembali ornamen karena menganggap modern tidak mempunyai jiwa dan membosankan. Tentu saja post modern hadir dengan mencari nilai dan expresi dalam penggunaan teknik membangun, bentuk dan referensi style-style lama yang sangat bertolak belakang dengan aliran modern yang minimalis.

   Setelah era post modern menjadi tren secara internasional, kita banyak mencari arsitek luar negeri untuk mendesign bangunan komersial kita. Ironinya  paham ini malah keluar dari misinya sewaktu hadir di Indonesia dan memaksakan juga bentuk baru yang juga terlepas dari identitas kita. Dengan gaya klasik kontemporer barat dengan tampilan ornamen baru dan berwarna menghias bangunan mal-mal dan perkantoran kita.

Mall taman anggrek bergaya post modern di design oleh Altoon & Porter Architect


Memang ada beberapa arsitek yang menghadirkan  kembali bentuk tradisional tertentu menjadi lebih modern dalam tipologi hotel resort, convention centre, bangunan publik yang menghadirkan kembali ornamen-ornamen tradisional dan atap tradisional. Yang menariknya mulai timbul pertanyaan tentang tipologi, ketika suatu atap tradisional dan ornamen yang sama dari suku tertentu muncul di semua tipologi bangunan. Bahkan untuk memperlihatkan kita sebagai bangsa yang satu, pola ornamen dari berbagai suku di Indonesia bisa hadir serempak dalam bangunan post modern ini. Berbagai kritik mulai dilontarkan ketika dirasa arsitektur tradisional sudah diperkosa dan dirampas nilai yang dikandungnya.

Kantor dinas perijinan kota Yogjakarta - memperlihatkan ornamen yang dipaksakan di kolom tanpa ada makna atau simbol yang jelas - hanyalah sebagai dekorasi memperlihatkan kejogjaan

Kantor pemerintahan Jayapura yang memperlihatkan kesamaan pemakaian tempelan ornamen suku tertentu di tengah kolom yang klasik dan atap tradisional suku tertentu yang dipaksakan kombinasinya dengan atap beton yang bergaya klasik

Kantor perwakilan pemerintah provinsi Sumatera - memperlihatkan gabungan kantor yang modern dengan penambahan atap tradisional Sumatera dengan ornamennya. Gabungan ini hanya menimbulkan pertanyaan bahwa atap beserta ornamen ini bisa di gabung dengan semua tipologi bangunan modern hanya untuk mengindentifikasikan ciri kelokalan yang semu.


   Susahnya disini tradisional memang mempunyai nilai-nilai yang bersifat sosial, budaya atau sakral atau spritual dalam menentukan ornamen dan bentuk dari bangunannya. Semuanya ada dasar dalam menentukan bangunannya seperti orientasi yang sakral terhadap alam, aturan yang ketat terhadap cara membangun elemen-elemen arsitekturnya dari kolom, pondasi, atap, dinding. Begitu juga dengan ornamen dan bentuk atap yang tidak bisa seenak-enaknya ditaruh dimana-mana. karena atap tradisional dan ornamen tradisional menyimbolkan tipologi tertentu, status penghuni rumah dan cerita kehidupan di baliknya.

   Konflik kembali terjadi disini ketika bangunan modern mempunyai suatu fungsi yang tidak pernah ada dalam tipologi bangunan tradisional seperti hotel, kantor, shopping centre, rumah sakit, dll. Semuanya hadir dari budaya barat yang telah  meyakinkan kita inilah yang modern dan terkini. Tidak pernah ada sebelumnya cara membangun bangunan modern ini di budaya kita. Referensi tentu berasal dari arsitektur negara lain. Dikarenakan post modern sendiri mencari hubungan dengan masa lalu, dipaksakanlah gaya tradisional ke bangunan modern dengan cara menampilkan yang terlihat dipermukaan seperti bentuk atap, pola ornamen tradisional yang dipadukan bentuk dan fungsi yang modern seperti layaknya theme park bertema budaya. 
Yang terjadi akhirnya di era post modern, kita merasa tidak enak melihat atap tradisional dan ornamen tampil di setiap bangunan post modern ini. Tentu saja ini hanyalah tempelan atau dekorasi semata yang tidak ada makna, tidak ada dasarnya, dan tidak bersuara. 

   Yang muncul belakangan adalah aliran modern minimalis. Lucunya ketika minimalis ini sebenarnya kembali ke paham modern awal yang bersih dan murni, malah menjadi salah paham akan gayanya  di masyarakat. kesalahpahaman tentang stylenya ditandai dengan munculah minimalis yang lain seperti minimalis art deco, minimalis tropikal, minimalis pop, minimalis industrial. Sepertinya minimalis yang lain ini muncul karena bentuk yang murni dan simple tidak terlalu disegani di masyarakat, bentuk modern  yang didekorasi dan mempunyai ornamen malah dipercaya sebagai minimalis. Dekorasi-dekorasi sederhana yang banyak ditambahkan di gaya minimalis ini malah menjadikannya kembali ke bentuk post modern. Fenomena ini juga dikarenakan masyarakat yang kurang mengerti tentang minimalis dan ketidakpercayaan masyarakat akan keindahan bentuk yang betul-betul murni ini. Sering di salah artikan bentuk yang murni tanpa dekorasi dan ornamen adalah suatu bentuk yang tidak menarik, belum selesai, dan tidak mewah. 

Cluster minimalis baru di Cawang memperlihatkan minimalis yang lain. Gaya ini sebenarnya sudah bukan lagi minimalis ketika unsur tropikal dari atap, pemakaian material batu alam yang disusun secara gaya klasik dan motif yang dipakai di pintu dan jendela sebagai hiasan tidak menjadikannya suatu bentuk yang murni dan bersih tapi sudah terpengaruh berbagai aliran. 


Cluster minimalis yang lain bergaya pop di Bandung dengan dekorasi warna yang berbeda-beda dan tambahan yang tidak perlu dari sirip warna biru dengan tujuan hiasan semata.

Minimalis yang lain yang meperlihatkan berbagai macam pola ornamen yang berbeda sebagai elemen dekorasi yang menempel di tampaknya. Tidak ada dasar dalam penentuan pola ornamen disini, hanyalah kesukaan dari perancangnya untuk tampil menarik.


   Dalam rumah tinggal, ketika sekarang ini pemiliknya sudah manusia modern dan tidak terikat tradisi, kehadiran ornamen ini  dinilai oleh pemiliknya untuk memperlihatkan tingkat kemakmurannya yang mampu mengeluarkan duit untuk menghias rumahnya dan bukan lagi memperlihatkan nilai-nilai budaya tradisinya.
Dalam bangunan komersial, ornamen ini juga kembali hadir untuk berbicara mewakili brand dari perusahaan atau merk dagangnya dengan tujuan untuk memasarkan barang dagangan atau jasa yang diberikan perusahaannya. Dalam bangunan publik, ornamen ini juga mempunyai maksud politik atau memanipulasi suatu identitas.


Mesjid raya Sumbar, Sumatera - memperlihatkan expresi yang modern dari spririt tradisional rumah adat minangkabau. Ekpresi ini menarik dikarenakan atap yang runcing dari minangkabau sudah melekat di mata publik dan arsiteknya dengan kreatif mengexpresikannya kembali lebih modern dengan ujungnya yang meruncing juga. Pola ornamennya pun dipakai kembali supaya bangunannya berkomunikasi dan bisa diterima oleh publik. Sepertinya aliran post modern yang kaya akan simbol dan ornamen lebih melekat ke hati publik dibanding suatu yang polos dan bersih tanpa ornamen dan detail yang tidak perlu (foto dari Fauzi Rahmat)

Kantor kementrian agama dengan pola tempelan diagonal silang dari aluminium panel di permukaan kaca tampak luarnya (foto dari agvanz.thumbr) - apakah arsiteknya bermaksud berkomunikasi arsitekturnya dengan publik dengan pola yang sering dilihat oleh masyarakat awam dari pola belah ketupat supaya publik tidak merasa asing dengan bangunannya. Atau apakah hiasan ini hanya untuk mengejar estetika belaka

Louis vuitton Jakarta - memperlihatkan pola ornamen dari merk brandnya yang sering dipakai di setiap tokonya di seluruh dunia dengan tujuan komersial


Cire Restaurant di Alila villa, Ulluwatu Bali oleh WOHA arsitek, Singapore. Memperlihatkan ornamen berbagai macam  gabungan pola motif  dari Indonesia yang dipresentasikan tanpa arti dan tidak berbicara dengan tujuan mengejar estetika semata dan memperlihatkan ada identitas keindonesiaannya yang semu 

Foresta business loft 2, BSD oleh arsitek Aboday. Pola ornamen motif segitiga dipakai sebagai tujuan sunscreen seperti pada bangunan pendahulunya karya Silaban. Ornamen disini mengambil pola grafis yang lebih modern dan terkini. Pertanyaan kembali apakah polanya ingin mewakili fungsi dari bangunannya, memberikan komunikasi ke publik atau hanyalah estitika belaka dari tren grafis yang sedang popular


   Akhirnya karena dorongan komoditas, ornamen ini timbul kembali dalam tiap tipologi bangunan modern kita dengan cara yang baru yang di sederhanakan dan diulang-ulang. Dalam beberapa tipologi, ornamen ini menjadi lebih bebas dan tidak terikat sisi sosial dan budaya. Pola-polanya pun sudah membebaskan diri dari konteks yang ada sehingga geometri apapun yang sedang tren bisa masuk dalam ornamen ini. kadang-kadang ornamen ini hanyalah juga jiplakan dari pola ornamen dari bangunan yang sering dipublikasikan di  majalah arsitektur atau media sosial untuk menjadikan tampilan yang trendy semata.

Meskipun beberapa arsitek di Indonesia telah sadar pentingnya fungsi ornamen ini untuk berkomunikasi ke publik tapi sayangnya banyak juga dari bangunan di Indonesia tidak menyuarakan dengan benar ornamennya dan hanyalah menjadi unsur estetika semata yang tidak berbicara. Meskipun sudah lama paham modern menolak segala bentuk ornamen, ornamen itu sendiri selalu muncul dengan sendirinya dalam pekembangan arsitektur kita. Saatnya kita meninjau ulang peranan ornamen dalam menyuarakan identitas arsitektur modern Indonesia.





Apa sih yang membedakan rumah-rumah kaum urban Indonesia dibandingkan dengan rumah di luar negeri? Jawabannya yang paling kelihatan adalah di perletakkan dan penggunaan istilah ruang tertentu yang tidak ada di luar negeri. Ruang inilah yang dimaksud: ruang tamu, ruang tidur tamu, dapur bersih dan basah, ruang pembantu.

foto oleh seni budaya12.blogspot - rumah joglo


Lucunya meskipun gaya yang dipakai oleh rumah tersebut bisa klasik mediterranian, tropis, minimalis, art deco, dll ruangan ini selalu hadir di denahnya. Bila anda bandingkan dengan rumah di luar negeri, anda akan menyadari hanyalah Indonesia yang mempunyai nama ruang ini.

Kenapa ruang-ruang ini hadir hanya di Indonesia? Inilah yang disebut budaya. budaya lahir dari kebiasaan orang Indonesia. Mari kita bahas tentang ruang tamu terlebih dahulu. Mungkin dikarenakan masih terpengaruh tradisi, dimana masyarakat Indonesia suka berkumpul, menerima tamu yang datang sekaligus menjamunya dan memamerkan rumahnya. Kebiasaan ini bisa di lacak dari rumah-rumah tradisional dimana selalu ada yang namanya pelataran atau serambi yang khusus bertujuan menyambut tamu yang datang, dijamu dan diajak ngobrol di ruang ini.

Tidak sopan bukan secara moral di Indonesia bila ada tamu yang berkunjung, kita tidak menjamunya dengan makanan-makanan kecil ataupun minuman. Tetapi meskipun begitu kita sangat berhati-hati menerima tamu yang datang. Bila tidak dikenal dengan baik, kita tidak akan membawanya lebih jauh kedalam ruang keluarga dikarenakan masalah keamanan. Terdapat batasan yang jelas yang memisahkan ruang tamu yang bersifat semi publik dan ruang keluarga yang bersifat privat.

Kadang-kadang pembatas ini banyak bersifat semi transparan dengan penggunaan kisi-kisi kayu atau kaca supaya yang punya rumah bisa mengintip sesaat untuk mengetahui siapa yang datang bertamu. Di ruang tamu ini jugalah kebanyakan pemiliknya menghias interiornya dengan bagusnya, kalau perlu memajang barang-barang koleksinya supaya terlihat kelasnya di masyarakat. Bila tamu yang datang adalah kerabat dekat atau masih hubungan kekeluargaan, maka dengan nilai kesopanan kita, diajaklah mereka menginap. Disinilah konsep kamar tamu terbentuk.

Tidak ada namanya ruang tamu dan kamar tidur tamu untuk rumah di luar negeri apalagi di negara barat. Kebanyakan dari mereka lebih individualis dan tidak banyak menerima tamu. Bilapun ingin bertemu teman, mereka lebih suka bertemu di tempat umum seperti cafe, pub, taman, pusat komunitas, dll.

Terus kenapa kita mempunyai dapur bersih dan kotor? Sebenarnya di barat hanya mengenal namanya dapur bersih untuk sebutan dapur dikarenakan jenis makanan yang disiapkan tidaklah berbau sangat kuat seperti makanan Indonesia. Makanan yang disajikan oleh orang barat kebanyakan adalah sandwich ataupun salad dan makan ringan lainnya yang mudah disajikan dan tidak berbau kuat.

Bandingkan dengan Indonesia yang memakai banyak rempah-rempah dalam bumbunya sebagai contoh kari, rendang, soto tentu baunya bisa ke seluruh ruangan. Makanya di Indonesia dibuatlah dapur kotor ini yang mempunyai ruangan sendiri agar bau makanannya hanya di ruangan ini. Tetapi dikarenakan kita sangat ingin mengikuti barat mempunyai dapur terbuka yang bergabung dengan ruang makan dan ruang keluarga maka hadirlah pantry atau dapur bersih ini.

Kenapa ruang pembantu juga berbeda dengan konsep rumah di luar negri? Itulah hebatnya kita, bayangkan di negara barat, bila anda mempunyai pembantu berarti anda adalah kaum orang kaya atau bangsawan. Sangatlah jarang bagi kaum menengah ke bawah di negara barat mempekerjakan pembantu yang haus tinggal bersama-sama di rumah. Bisa  dibayangkan ongkosnya yang mahal yang harus dikeluarkan bagi pemilik rumah. Tentunya mereka berpikir untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.

Terus kenapa kita dibilang hebat? tentunya di Indonesia, golongan menengah pun sanggup mempunyai pembantu makanya mereka merencanakan kamar pembantu beserta wcnya dalam rumahnya. Apakah ini dikarenakan kaun urban kita sudah terbiasa hidup manja dengan dilayani pembantu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya atau memang terlalu sibuk bekerja.

Meskipun begitu kita seharusnya merencanakan kamar pembantu beserta wcnya dengan lebih manusiawi. Kadang-kadang dikarenakan ongkos membangun yang mahal, ruang-ruang ini diperkecil luasannya sampai-sampai deperti gudang yang sempit dan tidak terasa layak untuk pembantunya bisa tidur.

Jadi bisalah kita sebut ruang tamu, ruang tidur tamu, dapur bersih dan kotor beserta r. pembantu adalah fenomena yang indonesia banget.





   Jakarta sebagai kota megapolitan sangat disayangkan pemerintahnya tidak terlalu memperhatikan kondisi jalur pejalan kaki atau trotoar. Menurut Alfred Sitorus, ketua koalisi pejalan kaki tercatat 80% trotoar tidak layak diakses pejalan kaki dan 99% tidak layak diakses penyandang disabilitas. Memang ada beberapa  yang telah dirapikan oleh pemerintah, tapi itupun daerah yang dianggap mempunyai nilai ekonomi dan politik  lebih seperti daerah turis ataupun pusat pemerintahan.

   Kebanyakan kondisi trotoar yang bagus hanya berada pada sentral bisnis seperti kuningan, sudirman, thamrin, dll ataupun daerah cluster komersial dan perumahan yang dikelola oleh pengembang. Trotoar di daerah pengembang memang menjadi rapi dan terawat, meskipun bertujuan memberikan nilai harga tanah dan bangunan yang tinggi.

  Bila dibandingkan dengan di daerah di luar itu, kondisi trotoar di ibukota sangatlah berantakan. banyak trotoar yang hancur, terputus dan tidak layak dipakai untuk pejalan kaki. Diperparah dengan kaki lima, pengendara motor, tukang ojek dan sektor informal lainnya yang menempati hampir seluruh trotoar.

   Dikarenakan hali ini, sering kali  aktivitas yang lainnya seperti kegiatan informal di trotoar ini banyak dilarang dan diusir dikarenakan akan terlihat kumuh dan mengganggu, bahkan dalam perencanaan kota sektor ini sering diabaikan. Padahal sektor informal dari kaki lima  yang sering kali menempati trotoar di daerah sentra bisnis ini sangat membantu para pegawai kelas bawah seperti officeboy, satpam untuk mendapatkan makan siang yang terjangkau.

   Jakarta itu memang kurang ruang publik ataupun ruang hijau yang memadai. Seharusnya trotoar ini bisa menjadi pengganti ruang publik dan hijaunya. Sudah banyak dari warga Jakarta memakai trotoar sebagai pengganti ruang bersama. Janganlah disalahkan bila kaki lima, pengamen jalanan, tukang ojek, anak-anak jalanan bermain, seniman, pasar  ataupun sektor informal lainnya menempati trotoar ini. Justru merekalah yang menghidupkan ruang publik kota.

foto oleh highnews1.wordpress - PKL dikawasan jakarta pusat menjelang ramadhan

   Ingatlah kota kita bukanlah kota barat dimana trotoar memang benar-benar difungsikan satu kegiatan saja sebagai tempat pejalan kaki dan tidak melihat banyak dari kalangan bawah berjuang untuk hidup di Jakarta di trotoar ini. Mungkin anda pernah mendengar banyak kisah cerita sukses dari orang-orang yang mula-mula hanya berjualan di kaki lima pinggir jalan di ibukota secara ilegal lalu mendadak mereka bisa menaikkan taraf hidupnya dan mempunyai cabang-cabang di seluruh kota Jakarta. Justru sektor informal inilah juga yang membantu perekonomian negara dan mengatasi jumlah pengangguran.

Sejak dahulu kota Asia sebenarnya tidak memberikan batasan fungsi pada jalur infrastrukturnya baik trotoar, ruang hijau, ataupun jalanannya. Lihat saja di kampung kota, dikarenakan keabsenan perencanaan kota yang baik  malah menjadikan jalan tanpa trotoar ini sebagai tempat aktivitas bersama dan ruang yang saling berbagi sekaligus jalur kendaraan dan pejalan kaki. Infrastruktur di kampung kota ini lebih flexible menerima berbagai macam kegiatan dari kegiatan pernikahan, upacara kematian, prosesi sunatan dengan menutup jalanannya, anak-anak bermain di jalanan, kaki lima, tukang sayur mendorong dagangannya di jalan, dll. Bukankah ini yang seharusnya menjadi suatu representasi akan identitas kota kita yang berbeda dari kota besar di dunia lainnya.

   Dalam satu sisi memang ada bahaya akan keselamatan pejalan kaki itu sendiri sewaktu ruang trotoar yang terbatas ini ditempati oleh berbagai macam kegiatan pada daerah yang jalanannya padat di lalui kendaraan bermotor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Memang kasus kampung kota berbeda dengan di jalur jalan yang lebar dan padat kendaraan bermotornya, dimana kondisi ini harus tetap memperlihatkan batasan yang jelas antara pejalan kaki dan pengendara kendaraan bermotor untuk menjaga keselamatan penggunanya. Sering kali terlihat kakilima atau tukang ojek yang mengambil seluruh trotoar untuk berjualan sehingga memaksa pejalan kaki berjalan di jalanan yang padat ini. Yang diperparah lagi bila motor-motor dengan seenaknya berjalan di atas trotoar dan mengusir para pejalan kaki yang ada didepannya

foto oleh jakartapedestrian.wordpress.com mempelihatkan persaingan pejalan kaki memperebutkan ruangnya dengan pengendara motor yang parkir dan berjalan di trotoar


  Masalahnya sebenarnya bukan salah bila trotoar kita difungsikan menjadi banyak kegiatan atau multifungsi, tetapi tetap harus ada aturan main yang jelas. Harus ada aturan dan perencanaan yang jelas  tentang daerah mana trotoar boleh ditempati kegiatan informal, berapa minimum lebar trotoar ini yang diperbolehkan untuk kegiatan lainnya dari kaki lima, parkir motor, dll, berapa kapasitas yang optimal yang bisa ditampung jalan tersebut untuk keperluaan kegiatan tersebut dan bila diperbolehkan tentu saja harus ada batas-batas yang jelas antara ruang untuk kegiatan informal dan pejalan kaki. Tapi tentunya untuk motor yang memasuki trotoar itu seharusnya tidak boleh dibiarkan karena akan membahayakan keselamatan pejalan kaki.



Siapa yang tidak familiar dengan layanan gojek, uber, tokopedia, lazada, alibaba? di era internet ini semua layanan bisa kita dapatkan dengan hanya membrowsingnya di um google. Ketika semua bisnis merambat ke dunia online termasuk bidang profesi, layanan bisnis jasa konstruksi beserta profesional yang terlibat didalamnya sudah banyak ikut bersaing memasarkan layanannya secara online. Layanan arsitek juga termasuk dalam layanan jasa konstruksi yang akan dibahas disini



Memang tidak salah bukan, bersaing dalam merebutkan customer dalam dunia bisnis profesi online dengan memasarkan webnya. Yang sangat disesali dalam dunia arsitektur  online ini tidak ada aturan yang jelas tentang ijin keprofesian dalam memasarkan iklannya. Siapa saja sepertinya bisa membuat jasa arsitek online dengan berbekal kemampuan yang minim ataupun hanya melihat literatur belaka. Mungkin saja yang buat jasa tersebut bukan dari profesional arsitek atau hanya orang awam saja.

Terus apa yang terjadi di dunia arsitektur online ini? tentunya kesalah pahaman tentang standar fee dari arsitek sendiri. Kenapa begitu? sudah banyak web-web di internet yang menawarkan jasa design online dibawah rata-rata tarif yang distandarisasi oleh Ikatan Arsitek Indonesia sendiri (IAI).

Terus masalahnya kenapa kan sah saja namanya juga usaha? Masalahnya begini, ketika harga yang dicantumkan seperti paket murah mendesign dari denah, tampak, potongan, 3d beserta RAB (rencana anggaran biaya) sudah dipatok seharga 10 ribu-20 ribu per m2 bahkan ada praktek design n built yang mau menggratiskan gambar designnya, terjadilah disini kesalahpahaman, orang awam mengira jasa arsitek itu sangat murah di pasaran. Terlebih jasa arsitek hanya dianggap sebagai tukang gambar saja.

Dengan harga murah dan demi mendapatkan pembayaran yang cepat, tentu kualitas design arsitektur dan persyaratan dari kode-kode bangunan sesuai aturan  sudah tidak terpenuhi atau diragukan. Untuk mempelajari design dan peraturan bangunan saja, arsitek menekuni pendidikan S1nya seperti halnya profesi pengacara ataupun dokter, itupun belum bisa dibilang arsitek sebelum mereka mendapatkan ijin untuk membangun atau SIBP (Surat ijin Bekerja Perencana). Pertanyaannya apakah ada layanan jasa arsitek online memberikan no SIBPnya?

Dalam satu sisi memang ada keunggulan dalam hal kecepatan dan waktu. Seperti halnya layanan gojek atau tokopedia dimana transaksi masuk, jasa dan barang akan dilaksanakan langsung atau barang akan dikirim, layanan jasa arsitek ini mengikuti prinsip ini.  Layanan jasa design online ini juga ada bermacam-macam.

Yang pertama adalah tipe konvensional online dimana jasa mereka seperti biro arsitek pada umumnya yang menganalisa keinginan anda dan menggambarkan sesuai keinginan anda. Bedanya kecepatannya lebih cepat dikarenakan anda tidak perlu sering bertemu, hanya dengan mengirimkan informasi tanah dan keinginan anda dalam membuat rumah yang disampaikan dalam web mereka, anda akan langsung dapat tanggapannya secara email dengan cepat. Selanjutnya bila anda setuju dengan fee yang mereka minta, anda akan mendapatkan paket gambar tersebut dengan waktu yang diberikan tanpa perlu bertemu dan berkomunikasi dengan arsiteknya secara online juga.

 Range harga online ini sangat bervariatif tergantung jenis pekerjaan dan luasan bangunan yang anda ingin design. Bila anda ingin bertemu dengan mereka akan ada fee tambahan untuk konsultasi. Bila anda ingin memilih jenis layanan ini, ada baiknya anda mengetahui latar belakang dari arsiteknya dan produk yang dihasilkannya. Banyak dari pembuat situs web online ini adalah anak muda yang baru lulus dari jurusan s1 arsitektur, STM drafting arsitektur  tanpa punya atau sedikit pengalaman berarsitektur.

Tipe kedua adalah tipe jual data arsitektur online. Tipe ini memberikan jasa arsitek tapi tidak mendesign. Maksudnya begini, mereka ini hanya mengumpulkan bahan referensi dari denah, tampak, potongan, dan juga 3d di internet dari tipe-tipe kavling rumah yang sudah standar di pasaran. Dikarenakan menjual begitu saja design yang sudah ada dan dipublikasikan adalah ilegal, mereka bekerjasama dengan nitizen yang terlibat profesi jasa konstruksi. Siapa saja bisa mengupload design mereka di web ini, dan andalah yang tinggal memilih mana yang sesuai dengan anda. Bila anda membayar designnya, tentu saja designer aslinya akan mendapatkan fee juga.

Kelemahan sistim ini adalah anda sangat susah mendapatkan design yang bagus, bermutu atau sesuai keinginan anda dan bisa saja design yang anda beli sama dengan tetangga anda. Designer handal tentu saja tidak mau memberikan designnya dijual secara murah dan diproduksi massal. Selain itu bisa saja anda mendapatkan gambar yang tidak saling berkesinambungan atau design yang hanya contekan dengan modifikasi sedikit dari design arsitek terkenal.

Tipe ketiga adalah tipe all in one atau semua ada. Tipe ini sebenarnya kerjasama antara kontraktor, suplier dan arsitek, tapi yang ada di pasaran sekarang ini kebanyakan dipunyai oleh kontraktor bangunan. Dengan servisnya memberikan design gratis dan paket murah dalam membuat interior atau arsitektur, tentu membuat anda tertarik menghubunginya. Sayangnya anda juga tidak akan mendapatkan kualitas design yang bagus di jasa online tipe ini dikarenakan kontraktor tidak mengetahui soal design. Mereka hanya tahu bagaimana membangun yang kokoh dan mendapatkan keuntungan yang besar dari membangunnya. Mereka tidak mau lama-lama bicara design dikarenakan tidak ada untungnya buat mereka. Bersiap-siap saja bila ada penambahan biaya di kemudian hari dikarenakan tidak ada gambar lengkap dalam detail konstruksinya.

Yang perlu diingat, untuk mendapatkan design yang bermutu dan sesuai dengan yang anda inginkan diperlukan komunikasi lebih dekat dan intensif antara  arsitek dan client. Proses ini bisa berlangsung lama bahkan sampai tahapan konstruksi, inilah yang membuat sistim online arsitek tidak bisa sama dengan bisnis online yang lain, design arsitektur tidak bisa seperti layanan gojek, tokopedia, uber dimana sekali transaksi online barang atau layanan segera diantar lalu selesai semua.

Bila anda berminat memakai jasa online arsitek atau interior, lebih baik anda mengetahui tipe-tipe servis yang ada di pasaran dan menyeleksi layanan dari latar belakangnya dan produk yang dihasilkannya, kalau perlu teleponlah dan tanyalah lebih detail sehingga anda dengan tenang memakainya untuk bisa mendapatkan design yang bermutu.







Banyak dari kita dibingungkan dengan profesi arsitek, interior, kontraktor dan juga sekarang servis yang disebut design & built beserta tukang mebel yang ada di pasaran. Susahnya karena tidak ada aturan yang pasti tentang perlindungan masing-masing keprofesian di Indonesia, profesi ini seakan dibiarkan campur aduk dengan yang lainnya.

Tentu banyak dari kita yang berpikir untuk membangun rumah cukup panggil kontraktor saja pasti beres. Sehingga kadang-kadang bagi orang awam menganggap orang yang mendesign rumah ataupun interiornya adalah kontraktor juga. Fenomena memang menjadi kabur batasannya dikarenakan banyak profesi kontraktor juga membuat servis design n built menjadi satu paket murah di pasaran.

Sebelum kita membahas lebih jauh, ada perlunya kita membahas masing-masing keprofesian. Arsitek adalah yang bertugas mendesign bangunan secara luar dan dalam. Mereka lah yang merangkum keperluan anda akan ruang yang berfungsi menjadi suatu gambar yang disebut denah, tampak, potongan. Gambar ini akan anda butuhkan untuk perijinan sewaktu mengurus imb. Mereka tidak hanya berhenti disitu saja, mereka juga bisa diminta mengajukan material, pembuatan gambar pelaksanaan dan pengawasan berkala sehingga hasil dari rancangan mereka terbangun sesuai dengan yang diminta.

Sering salah sangkanya mereka bukanlah interior designer. Memang ada beberapa arsitek mempunyai pengalaman keduanya baik interior dan arsitektur tapi sebenarnya keduanya adalah profesi yang berbeda. Untuk menjadi interior designer ataupun arsitek sama-sama menempuh jalus s1, yang satu jurusan design dan yang lainnya jurusan teknik arsitektur.
Makanya bila arsitek disuruh mengerjakan interior, biasanya anda akan dikenakan biaya tambahan. Biasanya mereka hanya membuat denah perletakkan furniture supaya semua ruangannya terlihat berfungsi semestinya, tapi mereka tidak berkewajiban memberikan gambar lebih jauh.
Jadi bila anda menanyakan detail spesifikasi perabotnya bagaimana, mereka akan enggan menjawab karena tidak terlalu menguasainya.

Sebaliknya interior designer tidak mengerti soal profesi arsitektur, apalagi bila anda tanya tentang tampak bangunannya. Interior designer berfungsi untuk mendekorasi ruangan yang disediakan dan mengisinya dengan perabot.

Lagi-lagi mereka berbeda dengan toko mebel/ furniture. Toko furniture hanya bertujuan menjual furniturenya supaya laku tapi mereka tidak mengenal design. Sekarang ini banyak orang yang mengaku interior designer dengan portfolio sebatas 3d image ataupun gambar-gambar yang diambil dari internet padahal mereka hanyalah penjual furniture, suplier interior ataupun sales properti.

Banyak toko mulai menggabungkan jasa interior designer, properti, jual mebel dan suplier wallpaper, gorden dll. Sering kali jenis toko furniture seperti ini memberikan servis design interior gratisan supaya mebelnya atau materialnya laku terjual.  Tapi lebih baik anda berpikir dua kali, mereka ini tidak belajar ilmu design seperti mencocokan bentuk, warna, letaknya, fungsinya dengan keseluruhan. Jadi jangan harap mendapatkan interior anda kelihatan bagus designnya.
Terkecuali bila ada ke toko furniture berkelas dan mahal, mereka biasanya menyediakan  interior designer profesional dalam tokonya juga.

Terus apa dong profesi kontraktor? kontraktor sebenarnya memberikan jasa membangun sampai bangunan beroperasi semestinya. Mereka lah yang mewujudkan gambar-gambar dari arsitek dan interior untuk menjadi bentuk fisiknya. Perlu diingat mereka tidak bisa membangun bila tidak ada gambar perencanaannya. Memang beberapa kasus ada yang bisa langsung diwujudkan dengan hanya mengandalkan sketch dari anda, tapi kami sarankan anda tidak mencobanya dikarenakan selain membuat hasilnya tidak sesuai dengan keinginan anda, akan ada banyak biaya tambah dikemudian hari dikarenakan try and error di lapangan.

Kebingungan profesi ini juga dikarenakan banyaknya servis design n build di lapangan. Banyak iklan yang menggiurkan anda seperti jasa paket murah bangun rumah dengan design gratis. Sebenarnya ini suatu praktek yang ilegal yang menjatuhkan profesi arsitek dikarenakan banting-banting harga di pasaran. Praktek ini juga ilegal dikarenakan untuk bekerja mendesign rumah diatas 150 m2 sebenarnya membutuhkan ijin bekerja perencana yang sudah diakui seperti ijin dokter ataupun pengacara. Ini tidak main-main, mereka mempunyai sertifikasi yang mengikuti peraturan tertulis membangun yang sehat dan aman.

Tidak mengerti design bagi kalangan awam juga membuat servis ini laku selain harganya. Jangan kaget bila anda mendapatkan hasil bangunan anda tidak kelihatan ada designnya atau ruang-ruangnya tidak tertata dengan baik. Mereka tentu hanya mengikuti sesuai dengan anda mau karena anda yang punya duit. Beruntung bila anda punya selera yang bagus dalam design, bila tidak ya mungkin anda mendapatkan rumah anda menjadi berantakan, ataupun nyentrik dengan warna, bentuk yang berbeda dan tidak mempunyai kesatuan untuk enak dipandang layaknya karya seni. Ingatlah mereka kontraktor design n built bukanlah designer,  ongkos design tidak ada buat apa mereka berpusing-pusing memikirkan bagus atau indah penampilan rumah anda. Memang ada servis design n built yang dipunyai arsitek dan kontraktor, tapi biasanya designnya tidak menjadi gratis.

Bila anda ingin membangun rumah atau properti lainnya, baiklah anda mengerti profesi-profesi yang berkaitan dan yang ada di pasaran sehingga anda tidak salah memilih






    Fenomena membeli hunian kecil sudah mulai menjadi hal yang umum di kota besar, terlebih dengan harga properti di kota besar yang sudah dibilang tidak wajar bila dibandingkan dengan penghasilan seorang pegawai. Sudah menjadi tren di kota besar, banyak pasangan muda lebih tertarik mencari apartemen yang luasan 20-45 m2 yang berlokasi di pusat kota karena dekat dengan pusat aktivitas dan tidak mau terkena macet.

Dengan rela dikotakkan dengan luas yang sempit, apartemen yang disebut shoe box ini laris manis di pasaran dengan harga masih terjangkau bagi pasangan muda. Bisa dibayangkan sempitnya unit apartment ini yang sebenarnya tipe studio tapi dipaksakan  menjadi tipe 2 kamar. Sudah bisa dibayangkan untuk menaruh furniture yang di beli dipasaran saja sudah membuat ruangan tambah penuh sesak dan sempit. Tapi jangan kuatir banyak cara mendesign dengan smart untuk menaruh perabot supaya terlihat lebih lega.

Salah satunya adalah menaruh semua kebutuhan kegiatan anda dalam satu lemari yang tampak seperti dinding seperti contoh urban apartemen dibawah ini

urban apartemen di puri indah oleh atelier daun arsitek

urban apartemen di puri indah oleh atelier daun arsitek

Di urban apartement ini terlihat lebih spacious dikarenakan semua peralatan dimasukkan dalam satu lemari seperti dinding. Aktivitas dari memasak, gudang, ruang baca, cuci baju dimasukkan dalam satu dinding lemari ini.. Terlihat mesin cuci digabung dengan dapur, dengan di sebelahnya tempat lemari buku, pajangan, tempat sepatu dan gudang. Supaya terlihat lebih urban dan playful raknya di apartemen ini dibuat seperti jendela rumah yang lancip dan dapurnya  memakai keramik berpola.

Perabot dan peralatan rumah tangga memiliki bentuk dan warna yang berbeda, bila anda tidak mengatur dimana anda meletakkannya, anda akan membuat apartemen kecil menjadi berkesan berantakan, sempit dan penuh warna yang tidak berkesinambungan. Ada baiknya bila anda ingin mengexpose beberapa peralatan seperti mesin cuci, oven, kulkas, atau peralatan dapur lainnya, anda mengseleksi warnanya untuk bisa senada dengan warna interior yang anda mau. 

Supaya lebih lega, anda juga bisa memilih warna perabot dan ruangan dengan warna tidak didominasi warna gelap (lebih banyak warna terang). Selain membuat lebih clean, bersih, modern anda juga bisa mengirit biaya listrik lampu karena warna terang lebih mudah memantulkan cahaya matahari sehingga ruangan menjadi lebih terang.

Supaya tampak smart dan tidak penuh, carilah perabotan yang bisa multifungsi dan bisa dilipat  yang ada di pasaran. 

wall bed dimana kasur bisa dilipat ke lemari dinding dan menjadi meja belajar (nooroofs architects - apartemen di new york)
Lemari yang berfungsi sebagai meja belajar

Bila anda punya budget berlebih anda bisa membongkar partisi pemisah ruangan anda dan digantikan dengan dinding lemari multifungsi yang bisa digeser dan berfungsi sebagai penyekat ruangan seperti yang dilakukan PKMN arsitek dibawah ini dari Madrid, Spain. Serunya apartemen ini dikarenakan ruangan yang terjadi bisa menjadi banyak fungsi dikarenakan semua perabotnya dimasukkan dalam lemari yang bergerak ini. Lihat saja contohnya dibawah ini, dengan melipat pintu lemari k ebawah, pintu penutup lemari bisa menjadi meja makan atau masak. Disini terlihat ranjang pun dilipat ke lemarinya dan semua lemarinya bisa digeser sampai ujung supaya ruangan menjadi kosong dan lega


Banyak jalan untuk menyiasati apartemen kecil menjadi enak dan spacious, tinggal bagaimana anda mengatur dan mendesignnya, selamat berexplorasi.



kesamaan dan pengulangan dari mass production arsitektur telah membuat suatu bentuk monster vertikal.
Hanya dalam beberapa tahun lagi, jakarta dengan ledakan penduduknya yang tinggi akan menyerupai dengan image yang diambil oleh fotografer Michael Wong dalam blognya yang berjudul architecture of density.


Sangat mengerikan dan patut untuk direfleksikan kembali.
Apakah kita sebagai arsitek hanya bisa melihat perubahan dari bentuk ruang perkotaan kita menjadi beton yang berulang dengan motif2 yang seragam, skala yang mengerikan dan tanpa bersahabat dengan ruang sekitarnya.

Sayangnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal yang sangat mendesak tidak sejalan dengan peraturan yang memadai dari pemerintah tentang kesehatan dan kenyamanan penggunanya. Apakah kita sudah meregulasikan kebutuhan standar yang benar dari satuan unit apartemen, kebutuhan pencahayaannya, sirkulasi udara, tempat komunitas bersama. Saya ragu, semuanya hanya diserahkan oleh developer yang mengejar efisiensi demi keuntungan saja.

Tak heran apartemen yang terjadi di Jakarta belakangan ini bakal menyerupai dengan apa yang terjadi dengan Hongkong...
    Susahnya mencari bangunan satu ini yang di design oleh Tadao Ando. Bayangkan untuk mencapai ke lokasi kita harus berangkat dari Kobe ke arah miko station selama sejam, lalu dilanjutkan dengan express bus ke Amaji island dan kemudian turun di salah satu bangunan mixused Tadao Ando yaitu Awaji Yumebutai. Selanjutnya baru naik lokal bus yang hanya datang tiap sejam sekali.
Sesampainya di halte bis masih harus jalan ke arah bukit.
Pintu masuk bangunan ini terletak di belakang temple lama dan kita harus mengitari dari samping ,melewati kuburan baru sampailah di water temple Tadao Ando

Tapi memang sesampai disana, proyek ini sangat berharga untuk dikunjungi. Benar-benar pengalaman membuka mata dengan ruang-ruang yang dibuat Ando.
Sebenarnya kalau kita lihat secara denah, bangunan ini cukup sederhana dimana komposisinya terdiri dari 2 garis yang satu garis lurus dan lainnya lengkung dijajarkan dengan bentuk oval kolam. Bentuk oval kolam ini ternyata mempunyai denah kotak di lantai bawahnya yang digabungkan dengan ovalnya. Denah kotak inilah yang menjadi inti dan puncak hirarki dari bangunan ini.





Apa yang menarik dari bangunan ini adalah pengalaman sequence ruang dan hirarki yang ditimbulkannya. Sequence dan hirarki yang dirancang Ando memang punya spirit dari tradisional Jepang. Bila anda berkunjung ke tempe Shinto Jepang, anda akan merasakan suatu pengalaman hirarki ruang yang sama.

Pertama kali bertemu dengan bangunan ini yang kita lihat hanyalah jalan setapak ke arah lubang sebuah dinding beton yang mempersiapkan anda untuk masuk suatu atmosfir atau suasana yang baru dan berbeda.
Pintu atau gerbang disini selain berfungsi sebagai pintu masuk juga berfungsi sebagai simbol bahwa anda akan masuk ke dunia yang lain. Menariknya di temple shinto terdapat gerbang kayu sebagai pintu masuk, Disini Ando hanya menampilan dengan dinding beton yang dibolongi sebagai pintu masuk.


Setelah memasuki gerbang, kita hanya melihat tembok beton kedua yang melengkung dan lantai batu putih. Suasana ini hampir sama dengan ruang peralihan antara gerbang di temple shinto dan bangunan utamanya, tapi Ando hanya merekayasa kembali dengan pemakaian dua material yang sederhana. Mungkin tujuan dari ruang ini sebagai suatu tempat perenungan, refleksi atau untuk menyiapkan diri sebelum masuk yang utama.



Setelah kita mengitari tembok beton yang melengkung, sampailah kita ke kolam oval ini. Yang pintarnya kolam ini sangat  kontekstual dengan sekelilingnya. Selain merefleksikan pantulan landscape dari perbukitan di sekelilingnya, kolam ini memang sesuai dengan landscape di daerah ini yang banyak waduk-waduk kecil. 



Barulah setelah mengelilingi kolam kita masuki suatu jalan turun menembus ditengah-tengah kolam tersebut dan merasakan dari dekat efek refleksi pantulan kolam. 




Dengan rasa penasaran kita turun perlahan-lahan menanti kejutan ruang apa lagi yang ada setelahnya. Setelah turun kita hanya melihat dan mengitari lorong yang gelap dengan pemakaian dua material dinding yang berbeda yaitu beton dan kayu yang dicat merah. Apakah mungkin dinding kayu yang dicat merah ini terinspirasi dari tradisi temple Budha di Asia yang sering memakai warna merah, tapi yang jelas pemakaian dua material yang berbeda ini sangat menimbulkan kontras bahwa ada sesuatu yang penting di dalam dinding kayu merah ini.



Benarlah dugaan saya, ada suatu temple Budha di dalam dinding kayu merah ini, Sejenak kita duduk dan merenungkan perjalanan ruang ini dan berdiam diri di ruang yang tenang ini. Memang sungguh tenang bila saya sebagai pengikut Budha dan berdoa di ruangan ini. Menariknya hanya patung Budha ini yang memiliki penerangan alami dari belakangnya seperti Budha yang memancarkan sinar kebajikannya.



Akhir perjalan sebelum kembali ke arah jalan yang sama, saya melihat kembali cahaya yang menyinari kayu bolong-bolong ini yang juga sumber cahaya yang sama yang menyinari patung Budha di sisi dalamnya. Sungguh pengalaman menarik dari ruang-ruang Ando.





Perjalanan melihat karya Junga Ishigami sebagai arsitek muda Jepang yang baru-baru ini lagi terkenal memang sangat mengispirasi.
Bila kita perhatikan denah, terlihat  posisi kolom didesign secara acak seperti pola pohon yang berkembang alami. Menariknya kolom ini dibuat setipis mungkin dan sengaja mengelilingi ruang kosong untuk beberapa kegiatan. Elemen titik dari kolom disini didesign saling merapat dan berkesan menjadi suatu elemen garis yang membatasi dan mengelilingi beberapa ruang

Sayangnya karena kegiatan workshop yang sangat acak  dan tidak mengikuti ruang yang telah disediakan, efek ruang kosong yang ditimbulkan menjadi kurang terasa. Banyak karya yang besar yang dibuat oleh mahasiswa di gantung di ceilingnya dan ditaruh dimana-mana malah memperparah efek ruang. Memang susah antara fungsi dari workshop yang menjadikan sebagai gudang dan tempat praktek yang tidak punya posisi jelas dalam melakukan kegiatannya berkompromi dengan konsep awal dari arsiteknya.





Yang saya rasakan ketika masuk di ruang ini hanya melihat kolom yang disusun acak dan tidak merasakan ruang yang ditimbulkannya. Mungkin dikarenakan kolomnya kurang banyak dan jarak kolom dengan kolom ini belum cukup rapat sehingga bener-benar terlihat sebagai pembatas .

Saya sejenak berpikir bila  ruang ini difungsikan sebagai museum atau galery mungkin lebih sesuai mengikuti ide awalnya. Ketika objek yang ditampilkan hanya ditaruh di pusat ruang kosong tersebut, efek ruang ini bisa lebih terasa dan pengunjung akan lebih menghargai dan menikmati kolom-kolom yang disusun acak ini. Meskipun begitu idenya memang bagus yang tidak memposisikan kolom seperti bangunan umumnya. Tidak heran Junga Ishigami sebagai salah satu arsitek yang berbakat Jepang.


Ketika saya masih kuliah M.Arch beberapa tahun yang lalu, ada satu kuliah yang menarik tentang global city. Ketika arsitektur menjadi suatu bentuk kesamaan dari international style dan masyarakat yang sudah global, apakah yang membedakan setiap kota di dunia? pertanyaan tentu timbul dengan kota metropolitan Jakarta, apakah yang terjadi dengan masyarakat dan arsitekturnya menghadapi globalisasi. Tentu pertanyaan lainnya apakah kontektual dalam mendesign sudah tidak berlaku dan kita bisa seenaknya mengimport gaya arsitektur dari negara apapun untuk hadir di kota global.

Berbagai isu kita lalui seperti aktor yang terlibat di kota global dimana orang lokal hanya ditentukan dari pemegang ijin tinggal atau visa. Aktor yang datang sebagian besar adalah pendatang dengan membawa budaya yang berbeda-beda yang hanya memakai rumah sebagai tempat tinggal sementara dan nomaden. Gentrifikasi yang terus menerus sehingga demografi penduduk yang terus berubah. Sektor perekonomian yang cenderung berubah dikarenakan pasar dunia yang selalu berubah.

Diskusi dan diskusi kita lalui. Yang paling menarik diperbincangkan adalah meskipun beberapa setuju kesamaan yang terjadi tapi ada beberapa mahasiswa international tidak setuju dengan pendapat ini dan bahkan ada yang menolak terjadinya globalisasi. Beberapa yang tidak sependapat dengan kesamaan ini berpendapat bahwa kotanya meskipun sama dalan arsitektur modernnya tapi tetap berbeda kesan yang terjadi. Meskipun mereka belum tahu apa yang membuat berbeda, mereka tetap berpikir kotanya tidak sama dengan Jakarta, Shanghai, Tokyo,  Kuala Lumpur, Sydney, Hongkong, dll meskipun CBDnya didominasi arsitektur yang sama.

Saya pun salah satu yang menolak globalisasi yang telah banyak mengubah kota makin serupa dan makin banyaknya pendatang merubah budaya lokal dan kita kehilangan jati diri atau indentitas. Tapi ternyata profesor hanya mengatakan saya seorang yang berpikir conventional. Dia hanya mengatakan bukannya menarik bila kita berbeda atau heterogen. Bayangkan kita bisa makan apapun yang kita mau di kota global dari Vietnam, Jepang, Malaysia, Korea, Afrika, dll ada di sisi manapun di jalan. Betul semenjak globalisasi, kota lebih terbuka menerima sesuatu yang baru. Terus prof juga menambahkan, "jangan munafik, kita suka dengan gaya hidup yang serba mudah, nyaman  dan juga individualis di kota. Apakah bisa bila kita balik ke perdesaan dengan komunitas terlalu ingin tahu kegiatan tetangganya.

Akhirnya saya berpikir lagi sejenak, untuk apakah saya mencari arsitektur nusantara di indonesia, bila masyarakatnya sudah suka dengan apa yang diimport dari negara lain. Apakah saya menjadi seorang konventional seperti layaknya beberapa arsitek-arsitek senior di Indonesia yang selalu mencari identitas dari arsitektur nusantara yang semu. Apakah saya mulai menjadi budayawan yang tidak sadar budaya sudah berubah.
Pertanyaannya juga kenapa kita mau melihat masa lalu sedangkan kota selalu melihat kekinian dan kedepan. Berpikir hanya mendapatkan pertanyaan yang lebih banyak.

Sebenarnya pertanyaan ini dipertanyakan karena kita berusaha mencari identitas kita semenjak modernisasi terjadi atau hanyalah dikarenakan kerinduan dan nostalgia belaka untuk balik seperti masa lalu ketika masyarakat sekarang serba materialitis dan konsumtif karena faktor globalisasi.  Pertanyaan membuat saya membaca tentang Singapore dimana ada satu artikel juga dimana penulisnya mengungkapkan kota Singapore mencari indentitasnya yang susah didapat setelah kotanya didominasi pasar international dan arsitektur international. Yang menariknya indentitas yang dicari pemerintahnya hanyalah untuk mengejar nasionalisme belaka, agar rakyatnya bisa bangga bahwa mereka warga Singapura. Tentu saja dengan globalisasi yang serba sama, mereka mencari apa yang berbeda supaya dikatakan Singapura. Bila perlu indentitas ini direkayasa lagi dan dicari-cari dari sesuatu yang berbeda yang terjadi di keseharian masyarakatnya. Lagi-lagi dalam rekayasanya, Arsitektur iconiklah yang dicari untuk mendapatkan sumber devisa dari turis. Inilah perwujudan esplanade, marina bay sand, sentosa resort world...

Lagi-lagi kemunculan bangunan iconik ini muncul dimana-mana di seluruh kota global sebagai simbol identitas yang direkayasa. Dari Sydney opera house, Burj Kalifa, Taipei 101, Petronas tower, oriental pearl tower Shanghai, dll.

Pertanyaan yang sama ternyata dipertanyakan oleh Rem Koolhas dalam venice architecture Biennale 2014 tentang progres dari 100 tahun Global Arsitektur apakah kita menjadi sama dan tidak sehat dalam keadaan arsitektur saat ini. Atau apakah arsitektur merekonstruksi sendiri dalam hubungan dengan konteks terkinian.




concept diagram for national pavilion - dezeen


Sungguh menakutkan atau dirayakan melihat perkembangan diagram 100 tahun perbedaan arsitektur yang terjadi kota-kota dunia diatas ini.

Pertanyaan ini dijawab oleh tim Indonesia dengan tema ketukangan: kesadaran material. Pertukangan menjadi suatu proses umum yang terjadi di konstruksi Indonesia. Tukang disini bukan hanya sebagai labour atau pekerja murah yang tidak berpendidikan tinggi tapi bisa siapa saja yang terlibat dalam proses membangun. Dalam prosesnya mungkin sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan malah menjadi sesuatu kejutan dalam perwujudan arsitekturnya itulah pesan tim Indonesia.

Terjadi hubungan timbal balik antara arsitek dan tukangnya apakah terjadi karena minimnya pengetahuan membaca gambar konstruksi dari arsitek atau arsitek tidak sempat mengerjakan gambar kerja ini karena feenya yang selalu ditekan sehingga semua terjadi secara spontan sehingga dikerjakan langsung di lapangan dengan tukangnya. 

Lagi-lagi perwujudan ketukangan yang berbeda hanya terjadi di proyek-proyek kecil dimana proses pekerjaan masih kabur. Sangat berbeda bila mengerjakan proyek besar dengan semua keinginan perencana sudah jelas dan tukang hanyalah sebagai alat mewujudkan designnya. Kesalahan yang terjadi dalam design tidak mungkin menjadi sesuatu yang menarik, kesalahan tetap menjadi kesalahan. Inilah yang menentukan kualitas seorang arsitek yang berpengalaman dari mencegah kesalahah konstruksi dan bukan menjadi pekerjaan tambah.

Menjawab tema ketukangan apakah menjawab kesalahan arsitek dan ketidak pengalaman perencananya yang terjadi selama ini di Indonesia yang mengakibatkan try and error di lapangan sehingga hasilnya menjadi sesuatu yang unik. Atau dalam prosesnya tidak ada arsitek yang terlibat, hanyalah client dan tukangnya langsung. Meskipun begitu memang salut dengan materi yang disajikannya. 

Yang membuat saya berpikir kemudian apakah yang terjadi di Indonesia hanya sebatas pertukangan. Saya pikir banyak yang berbeda tapi belum teranalisa. Bila pun ada kesempatan, saya lebih tertarik menganalisa secara perkotaan. Perbedaan yang cukup tajam dari gap ekonomi antara si kaya dan si miskin di Indonesia telah menjadikan suatu ruang yang sama sekali berbeda. Munculnya perkampungan di kota dengan ruang yang acak tapi mempunyai keadaan self-organise bercampur dengan pola perumahan golongan menengah keatas yang teratur seperti pola perkotaan barat pada umumnya, munculnya pola kantong atau enclave pemukiman yang terjadi karena politik dari penghuninya, program yang sangat efektif di jalanan, sistim yang saling tumpang tindih karena perencanaan kota yang tidak terencana dengan baik, komunitas yang sangat heterogen yang terjadi, dll.

Apakah itu yang terjadi penolakan, perlawanan, konflik, adaptasi, asimilasi, peimporan, penengahan... masih banyak yang belum teranalisa. Apakah ini yang disebut sebagai residu atau sisa yang terjadi dikarenakan modernisasi dari globalisasi. Apakah pola inikah yang menjadikan kita berbeda dengan kota lainnya, masih banyak pr yang belum terjawab. Menurut saya bukanlah masa lalu yang kita selidiki untuk menjadikan arsitektur nusantara atau arsitektur Indonesia modern tapi penyelidikan kekinian yang berbeda karena residu ini. 
Takutnya pembangkitan tradisional masa lalu hanya sebagai penyelidikan arkeologi belaka dimana spiritnya sudah hilang diperkotaan kini. Bukannya penyelidikan ini tidak penting, tapi yang dicari adalah bagaimana mengembangkannya dengan konteks terkinian.









     The story of I.M.Pei as an architect was a story of  a man who known to public as an elegant, charming, thoroughly diplomatic individual, and has a gift with the powerful. As his fate to be a tribute a lot of  important person in history, his story can be associated with a classic fairy tale story about Merlin, King Arthur’s witch as an important advisor. In 1970s, when I.M Pei and number of associates had a working trip to Iran, they were persuaded to seek out a local fortune teller. The fortune teller rapidly impressed them for his correct assessment of  Pei : “He is very interested in meeting kings and queens”. People who worked with I.M Pei often mention that he was easily to know within a minutes who the influential person is and which are the key occasions in the room. Other colleagues said he was a sales man architects, he has a gift to negotiate to the clients and know about priorities at the beginning of conversation.

      Ieoh Ming Pei which known as I.M.Pei was a son  of  a prominent banker, he raised in Shanghai and China. Then, at the aged of  17, he went to United states to study architecture in MIT. In 1942, he continued his study under Walter Gropius influence in Harvard Graduate School of Design, and completed his M.Arch in 1946. He became an assistant professor between1945 to 1948. I.M.Pei became a naturalized citizen of the United States in 1954. Before established his own firm, he worked to William Zeckendorf  whom gave Pei a taste of commercial realities and large scale urban practice. Although I.M.Pei learned at Bauhaus influence with anti-historical, he did not totally embrace the philosophy. And when, the post-modernist  counter movement began to stall, he found his aesthetic comfortably. He remains devoted to simple, rigorous, sculptural geometry forms in modernist tradition. Beyond that, he also studies the site with care and seeks how the building to fit into a larger urban or landscape composition. (Wiseman,C 1990)     
                                                                   
        In the legend of  King Arthur in Britain, the king had the help and advice of a powerful wizard named Merlin. Merlin predicted that a young Arthur will become a great king and united all Britain. The wizard fashioned the magical sword  excalibur which proved that Arthur was the rightful king. According to the story, he also created the round table around which Arthur’s knight sat. He is the trusted adviser and helper of Arthur’s kingdom, although he could not prevent the fall of Arthur. The architect’s biography has a similar story with Merlin. As if  Merlin give a magical sword of excalibur to Arthur, I.M Pei had done his magic in louvre museum project in France for Francois Mitterrand, president of France. The Louvre project was the most  important project of I.M Pei. It was commissioned by Emile Biasini, a Mitterrand's right hand on the louvre after he made a strong impression in Pei's East Building on his museums touring in the United States. Before Pei accepted the offering, he asked for four month to study the possibility and problems to alter the louvre. He subsequently made three trips to Paris, staying for a weeks at the hotel Crillon, a short walk from the museum. The architect investigated the history of  Louvre, France and given a laissez-passer to go anywhere he wanted in the Louvre. Back in New York, he set a team of architects for this project. The team was Pei's son Didi, Yann Weymouth, Leonard Jacobson. Most of them had worked with him in East Building.

       Pei saw the challenges to design this project. Firstly, its position as historical site at the central of Paris  which links the Louvre to the Arc de Triomphe. Its alteration would have an impact on the heart of the city. Secondly, the Louvre required a lot of additional space to accommodate their collection. Lastly, the issue how to enter the museum as it had u-shaped three wings and Cour Napoleon, the open area between the wings. The solution of this issues was by excavating the Cour Napoleon to get  more additional space beneath it and by locating the entrance in the central of the court. Although it could bring visitors close to all three wings, Pei could not dig very deep as the river was so close. The idea of a glass pyramid at the center of the court came after he studied of seventeenth-century classical French’s landscape design. It also accomodate the need of a high transparent roof  to avoid subway station effect. The neutral and basic geometric shape of pyramid would not compete and intrude only minimally on the view of the existing buildings. He also added three smaller glasses pyramid above the passageways on each building to orient visitors and bring in light.  The main pyramid were 116 feet on side and 71 feet high and the three smaller pyramids were 26 feet on  side and 16 feet high. Then, he added reflecting pools and fountains surrounding the main pyramid which reclaimed the courtyard as an active urban space.

       Finally, Pei invited Biasini to New York to see their final design. After Biasini studied the model, he liked the idea of  the design and asked him to present it to the commission Superieure des Monuments Historiques, an advisory group dedicated in matters of  Paris landmarks. On January 23, 1984, with confidence that the design would  be well  received by the French public, Pei and his teams departed to Paris for the presentation. The result was far from their expectation, the committee condemning the project and denounced it as something that was “outside our mental space, gigantic, and ruinous gadget”. Two days after the meeting, many critics responded to the Louvre project, such as a member of French academy wrote that the pyramid would be “an atrocity” and accused Mitterrand of “despotism”, Le Monde headline the story of ‘the house of the dead’ and compared to Pei’s design to ” an annex to Disneyland”, and Le Figaro magazine condemned it as simply “inadmissible”. (Jodidio, P.  2008)

      Pei estimated that 90 percent of Parisians opposed his design. He received many angry glances in the streets of Paris and some carried nationalistic overtone that dislike the architect was not  French, but a Chinese-American. Although, Pei and his team had a support from Mitterrand, Mitterrand’s socialists had feared would losing power to Chirac, a conservative coalition leader. Soon, they got supported from several key cultural icons, including the conductor Pierre Boulez and Claude Pompidou, widow of Georges Pompidou, former French president. As Chirac asked, Pei built a full-sized cable model of the pyramid in the courtyard to exhibit for French people. Many people were surprised that it was not as large as they feared. The most dramatic part during construction was in the construction and the material of glass pyramids. Finding the suitable clear glass was not that easy as it needs a small amount of  iron-oxide.  Pei using a clear glass made of pure white sand from a quarry in Fountainebleau, after extensive consultations with French manufactures. In pyramid’s construction, he used a steel spider-web made up of  128 crisscrossing girders secured by 16 thin cables that support the 675 diamond-shaped and 118 triangular panes to minimize any obstructions to the view through the pyramid. Because the exterior was so pristine and the interior surface so difficult to reach, he hired a team of trained mountaineers.

      The new Louvre was opened on October 14, 1988 and the pool showed that 56 percent in favor of the pyramid, with only 23 percent against after the opening. The French’s magazines which previously against it become soften and adore the pyramid. Some observer was compared the flip-flop in official opinion with the Eiffel tower and the Britain’s Prince Charles pronounced Pei’s work “marvelous, very exciting”. Once again Mitterrand prevailed at the polls and conferred on Pei the Legion d’Honneur.

      Pei as an architect investigates every challenge to his design, and with  brave heart, he takes the challenges and try to solve its problems. He takes responsibility to his design and always involved himself in many major as well as minor decisions of the buildings. For the Louvre, he was even more attentive than usual to give his client, Mitterrand a magic of the pyramid, likewise Merlin give Arthur the Excalibur sword and help him to be a trusted and great king of Britain.

Reference List

Jodidio, P.  2008, I.M.Pei : complete works, Publishers Group UK ,New York.
Pei Cobb Freed &  Partnerts Architects llp, viewed 20 August 2012.
      <http://www.pcf-p.com/>
Wiseman,C 2001, the architecture of I.M.Pei, Thames & Hudson, London.
Wiseman,C 1990, I.M.Pei : a profile in American architecture, H.N. Abrams, New York.



Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home