Siapa yang tidak familiar dengan layanan gojek, uber, tokopedia, lazada, alibaba? di era internet ini semua layanan bisa kita dapatkan dengan hanya membrowsingnya di um google. Ketika semua bisnis merambat ke dunia online termasuk bidang profesi, layanan bisnis jasa konstruksi beserta profesional yang terlibat didalamnya sudah banyak ikut bersaing memasarkan layanannya secara online. Layanan arsitek juga termasuk dalam layanan jasa konstruksi yang akan dibahas disini



Memang tidak salah bukan, bersaing dalam merebutkan customer dalam dunia bisnis profesi online dengan memasarkan webnya. Yang sangat disesali dalam dunia arsitektur  online ini tidak ada aturan yang jelas tentang ijin keprofesian dalam memasarkan iklannya. Siapa saja sepertinya bisa membuat jasa arsitek online dengan berbekal kemampuan yang minim ataupun hanya melihat literatur belaka. Mungkin saja yang buat jasa tersebut bukan dari profesional arsitek atau hanya orang awam saja.

Terus apa yang terjadi di dunia arsitektur online ini? tentunya kesalah pahaman tentang standar fee dari arsitek sendiri. Kenapa begitu? sudah banyak web-web di internet yang menawarkan jasa design online dibawah rata-rata tarif yang distandarisasi oleh Ikatan Arsitek Indonesia sendiri (IAI).

Terus masalahnya kenapa kan sah saja namanya juga usaha? Masalahnya begini, ketika harga yang dicantumkan seperti paket murah mendesign dari denah, tampak, potongan, 3d beserta RAB (rencana anggaran biaya) sudah dipatok seharga 10 ribu-20 ribu per m2 bahkan ada praktek design n built yang mau menggratiskan gambar designnya, terjadilah disini kesalahpahaman, orang awam mengira jasa arsitek itu sangat murah di pasaran. Terlebih jasa arsitek hanya dianggap sebagai tukang gambar saja.

Dengan harga murah dan demi mendapatkan pembayaran yang cepat, tentu kualitas design arsitektur dan persyaratan dari kode-kode bangunan sesuai aturan  sudah tidak terpenuhi atau diragukan. Untuk mempelajari design dan peraturan bangunan saja, arsitek menekuni pendidikan S1nya seperti halnya profesi pengacara ataupun dokter, itupun belum bisa dibilang arsitek sebelum mereka mendapatkan ijin untuk membangun atau SIBP (Surat ijin Bekerja Perencana). Pertanyaannya apakah ada layanan jasa arsitek online memberikan no SIBPnya?

Dalam satu sisi memang ada keunggulan dalam hal kecepatan dan waktu. Seperti halnya layanan gojek atau tokopedia dimana transaksi masuk, jasa dan barang akan dilaksanakan langsung atau barang akan dikirim, layanan jasa arsitek ini mengikuti prinsip ini.  Layanan jasa design online ini juga ada bermacam-macam.

Yang pertama adalah tipe konvensional online dimana jasa mereka seperti biro arsitek pada umumnya yang menganalisa keinginan anda dan menggambarkan sesuai keinginan anda. Bedanya kecepatannya lebih cepat dikarenakan anda tidak perlu sering bertemu, hanya dengan mengirimkan informasi tanah dan keinginan anda dalam membuat rumah yang disampaikan dalam web mereka, anda akan langsung dapat tanggapannya secara email dengan cepat. Selanjutnya bila anda setuju dengan fee yang mereka minta, anda akan mendapatkan paket gambar tersebut dengan waktu yang diberikan tanpa perlu bertemu dan berkomunikasi dengan arsiteknya secara online juga.

 Range harga online ini sangat bervariatif tergantung jenis pekerjaan dan luasan bangunan yang anda ingin design. Bila anda ingin bertemu dengan mereka akan ada fee tambahan untuk konsultasi. Bila anda ingin memilih jenis layanan ini, ada baiknya anda mengetahui latar belakang dari arsiteknya dan produk yang dihasilkannya. Banyak dari pembuat situs web online ini adalah anak muda yang baru lulus dari jurusan s1 arsitektur, STM drafting arsitektur  tanpa punya atau sedikit pengalaman berarsitektur.

Tipe kedua adalah tipe jual data arsitektur online. Tipe ini memberikan jasa arsitek tapi tidak mendesign. Maksudnya begini, mereka ini hanya mengumpulkan bahan referensi dari denah, tampak, potongan, dan juga 3d di internet dari tipe-tipe kavling rumah yang sudah standar di pasaran. Dikarenakan menjual begitu saja design yang sudah ada dan dipublikasikan adalah ilegal, mereka bekerjasama dengan nitizen yang terlibat profesi jasa konstruksi. Siapa saja bisa mengupload design mereka di web ini, dan andalah yang tinggal memilih mana yang sesuai dengan anda. Bila anda membayar designnya, tentu saja designer aslinya akan mendapatkan fee juga.

Kelemahan sistim ini adalah anda sangat susah mendapatkan design yang bagus, bermutu atau sesuai keinginan anda dan bisa saja design yang anda beli sama dengan tetangga anda. Designer handal tentu saja tidak mau memberikan designnya dijual secara murah dan diproduksi massal. Selain itu bisa saja anda mendapatkan gambar yang tidak saling berkesinambungan atau design yang hanya contekan dengan modifikasi sedikit dari design arsitek terkenal.

Tipe ketiga adalah tipe all in one atau semua ada. Tipe ini sebenarnya kerjasama antara kontraktor, suplier dan arsitek, tapi yang ada di pasaran sekarang ini kebanyakan dipunyai oleh kontraktor bangunan. Dengan servisnya memberikan design gratis dan paket murah dalam membuat interior atau arsitektur, tentu membuat anda tertarik menghubunginya. Sayangnya anda juga tidak akan mendapatkan kualitas design yang bagus di jasa online tipe ini dikarenakan kontraktor tidak mengetahui soal design. Mereka hanya tahu bagaimana membangun yang kokoh dan mendapatkan keuntungan yang besar dari membangunnya. Mereka tidak mau lama-lama bicara design dikarenakan tidak ada untungnya buat mereka. Bersiap-siap saja bila ada penambahan biaya di kemudian hari dikarenakan tidak ada gambar lengkap dalam detail konstruksinya.

Yang perlu diingat, untuk mendapatkan design yang bermutu dan sesuai dengan yang anda inginkan diperlukan komunikasi lebih dekat dan intensif antara  arsitek dan client. Proses ini bisa berlangsung lama bahkan sampai tahapan konstruksi, inilah yang membuat sistim online arsitek tidak bisa sama dengan bisnis online yang lain, design arsitektur tidak bisa seperti layanan gojek, tokopedia, uber dimana sekali transaksi online barang atau layanan segera diantar lalu selesai semua.

Bila anda berminat memakai jasa online arsitek atau interior, lebih baik anda mengetahui tipe-tipe servis yang ada di pasaran dan menyeleksi layanan dari latar belakangnya dan produk yang dihasilkannya, kalau perlu teleponlah dan tanyalah lebih detail sehingga anda dengan tenang memakainya untuk bisa mendapatkan design yang bermutu.







Banyak dari kita dibingungkan dengan profesi arsitek, interior, kontraktor dan juga sekarang servis yang disebut design & built beserta tukang mebel yang ada di pasaran. Susahnya karena tidak ada aturan yang pasti tentang perlindungan masing-masing keprofesian di Indonesia, profesi ini seakan dibiarkan campur aduk dengan yang lainnya.

Tentu banyak dari kita yang berpikir untuk membangun rumah cukup panggil kontraktor saja pasti beres. Sehingga kadang-kadang bagi orang awam menganggap orang yang mendesign rumah ataupun interiornya adalah kontraktor juga. Fenomena memang menjadi kabur batasannya dikarenakan banyak profesi kontraktor juga membuat servis design n built menjadi satu paket murah di pasaran.

Sebelum kita membahas lebih jauh, ada perlunya kita membahas masing-masing keprofesian. Arsitek adalah yang bertugas mendesign bangunan secara luar dan dalam. Mereka lah yang merangkum keperluan anda akan ruang yang berfungsi menjadi suatu gambar yang disebut denah, tampak, potongan. Gambar ini akan anda butuhkan untuk perijinan sewaktu mengurus imb. Mereka tidak hanya berhenti disitu saja, mereka juga bisa diminta mengajukan material, pembuatan gambar pelaksanaan dan pengawasan berkala sehingga hasil dari rancangan mereka terbangun sesuai dengan yang diminta.

Sering salah sangkanya mereka bukanlah interior designer. Memang ada beberapa arsitek mempunyai pengalaman keduanya baik interior dan arsitektur tapi sebenarnya keduanya adalah profesi yang berbeda. Untuk menjadi interior designer ataupun arsitek sama-sama menempuh jalus s1, yang satu jurusan design dan yang lainnya jurusan teknik arsitektur.
Makanya bila arsitek disuruh mengerjakan interior, biasanya anda akan dikenakan biaya tambahan. Biasanya mereka hanya membuat denah perletakkan furniture supaya semua ruangannya terlihat berfungsi semestinya, tapi mereka tidak berkewajiban memberikan gambar lebih jauh.
Jadi bila anda menanyakan detail spesifikasi perabotnya bagaimana, mereka akan enggan menjawab karena tidak terlalu menguasainya.

Sebaliknya interior designer tidak mengerti soal profesi arsitektur, apalagi bila anda tanya tentang tampak bangunannya. Interior designer berfungsi untuk mendekorasi ruangan yang disediakan dan mengisinya dengan perabot.

Lagi-lagi mereka berbeda dengan toko mebel/ furniture. Toko furniture hanya bertujuan menjual furniturenya supaya laku tapi mereka tidak mengenal design. Sekarang ini banyak orang yang mengaku interior designer dengan portfolio sebatas 3d image ataupun gambar-gambar yang diambil dari internet padahal mereka hanyalah penjual furniture, suplier interior ataupun sales properti.

Banyak toko mulai menggabungkan jasa interior designer, properti, jual mebel dan suplier wallpaper, gorden dll. Sering kali jenis toko furniture seperti ini memberikan servis design interior gratisan supaya mebelnya atau materialnya laku terjual.  Tapi lebih baik anda berpikir dua kali, mereka ini tidak belajar ilmu design seperti mencocokan bentuk, warna, letaknya, fungsinya dengan keseluruhan. Jadi jangan harap mendapatkan interior anda kelihatan bagus designnya.
Terkecuali bila ada ke toko furniture berkelas dan mahal, mereka biasanya menyediakan  interior designer profesional dalam tokonya juga.

Terus apa dong profesi kontraktor? kontraktor sebenarnya memberikan jasa membangun sampai bangunan beroperasi semestinya. Mereka lah yang mewujudkan gambar-gambar dari arsitek dan interior untuk menjadi bentuk fisiknya. Perlu diingat mereka tidak bisa membangun bila tidak ada gambar perencanaannya. Memang beberapa kasus ada yang bisa langsung diwujudkan dengan hanya mengandalkan sketch dari anda, tapi kami sarankan anda tidak mencobanya dikarenakan selain membuat hasilnya tidak sesuai dengan keinginan anda, akan ada banyak biaya tambah dikemudian hari dikarenakan try and error di lapangan.

Kebingungan profesi ini juga dikarenakan banyaknya servis design n build di lapangan. Banyak iklan yang menggiurkan anda seperti jasa paket murah bangun rumah dengan design gratis. Sebenarnya ini suatu praktek yang ilegal yang menjatuhkan profesi arsitek dikarenakan banting-banting harga di pasaran. Praktek ini juga ilegal dikarenakan untuk bekerja mendesign rumah diatas 150 m2 sebenarnya membutuhkan ijin bekerja perencana yang sudah diakui seperti ijin dokter ataupun pengacara. Ini tidak main-main, mereka mempunyai sertifikasi yang mengikuti peraturan tertulis membangun yang sehat dan aman.

Tidak mengerti design bagi kalangan awam juga membuat servis ini laku selain harganya. Jangan kaget bila anda mendapatkan hasil bangunan anda tidak kelihatan ada designnya atau ruang-ruangnya tidak tertata dengan baik. Mereka tentu hanya mengikuti sesuai dengan anda mau karena anda yang punya duit. Beruntung bila anda punya selera yang bagus dalam design, bila tidak ya mungkin anda mendapatkan rumah anda menjadi berantakan, ataupun nyentrik dengan warna, bentuk yang berbeda dan tidak mempunyai kesatuan untuk enak dipandang layaknya karya seni. Ingatlah mereka kontraktor design n built bukanlah designer,  ongkos design tidak ada buat apa mereka berpusing-pusing memikirkan bagus atau indah penampilan rumah anda. Memang ada servis design n built yang dipunyai arsitek dan kontraktor, tapi biasanya designnya tidak menjadi gratis.

Bila anda ingin membangun rumah atau properti lainnya, baiklah anda mengerti profesi-profesi yang berkaitan dan yang ada di pasaran sehingga anda tidak salah memilih






    Fenomena membeli hunian kecil sudah mulai menjadi hal yang umum di kota besar, terlebih dengan harga properti di kota besar yang sudah dibilang tidak wajar bila dibandingkan dengan penghasilan seorang pegawai. Sudah menjadi tren di kota besar, banyak pasangan muda lebih tertarik mencari apartemen yang luasan 20-45 m2 yang berlokasi di pusat kota karena dekat dengan pusat aktivitas dan tidak mau terkena macet.

Dengan rela dikotakkan dengan luas yang sempit, apartemen yang disebut shoe box ini laris manis di pasaran dengan harga masih terjangkau bagi pasangan muda. Bisa dibayangkan sempitnya unit apartment ini yang sebenarnya tipe studio tapi dipaksakan  menjadi tipe 2 kamar. Sudah bisa dibayangkan untuk menaruh furniture yang di beli dipasaran saja sudah membuat ruangan tambah penuh sesak dan sempit. Tapi jangan kuatir banyak cara mendesign dengan smart untuk menaruh perabot supaya terlihat lebih lega.

Salah satunya adalah menaruh semua kebutuhan kegiatan anda dalam satu lemari yang tampak seperti dinding seperti contoh urban apartemen dibawah ini

urban apartemen di puri indah oleh atelier daun arsitek

urban apartemen di puri indah oleh atelier daun arsitek

Di urban apartement ini terlihat lebih spacious dikarenakan semua peralatan dimasukkan dalam satu lemari seperti dinding. Aktivitas dari memasak, gudang, ruang baca, cuci baju dimasukkan dalam satu dinding lemari ini.. Terlihat mesin cuci digabung dengan dapur, dengan di sebelahnya tempat lemari buku, pajangan, tempat sepatu dan gudang. Supaya terlihat lebih urban dan playful raknya di apartemen ini dibuat seperti jendela rumah yang lancip dan dapurnya  memakai keramik berpola.

Perabot dan peralatan rumah tangga memiliki bentuk dan warna yang berbeda, bila anda tidak mengatur dimana anda meletakkannya, anda akan membuat apartemen kecil menjadi berkesan berantakan, sempit dan penuh warna yang tidak berkesinambungan. Ada baiknya bila anda ingin mengexpose beberapa peralatan seperti mesin cuci, oven, kulkas, atau peralatan dapur lainnya, anda mengseleksi warnanya untuk bisa senada dengan warna interior yang anda mau. 

Supaya lebih lega, anda juga bisa memilih warna perabot dan ruangan dengan warna tidak didominasi warna gelap (lebih banyak warna terang). Selain membuat lebih clean, bersih, modern anda juga bisa mengirit biaya listrik lampu karena warna terang lebih mudah memantulkan cahaya matahari sehingga ruangan menjadi lebih terang.

Supaya tampak smart dan tidak penuh, carilah perabotan yang bisa multifungsi dan bisa dilipat  yang ada di pasaran. 

wall bed dimana kasur bisa dilipat ke lemari dinding dan menjadi meja belajar (nooroofs architects - apartemen di new york)
Lemari yang berfungsi sebagai meja belajar

Bila anda punya budget berlebih anda bisa membongkar partisi pemisah ruangan anda dan digantikan dengan dinding lemari multifungsi yang bisa digeser dan berfungsi sebagai penyekat ruangan seperti yang dilakukan PKMN arsitek dibawah ini dari Madrid, Spain. Serunya apartemen ini dikarenakan ruangan yang terjadi bisa menjadi banyak fungsi dikarenakan semua perabotnya dimasukkan dalam lemari yang bergerak ini. Lihat saja contohnya dibawah ini, dengan melipat pintu lemari k ebawah, pintu penutup lemari bisa menjadi meja makan atau masak. Disini terlihat ranjang pun dilipat ke lemarinya dan semua lemarinya bisa digeser sampai ujung supaya ruangan menjadi kosong dan lega


Banyak jalan untuk menyiasati apartemen kecil menjadi enak dan spacious, tinggal bagaimana anda mengatur dan mendesignnya, selamat berexplorasi.



kesamaan dan pengulangan dari mass production arsitektur telah membuat suatu bentuk monster vertikal.
Hanya dalam beberapa tahun lagi, jakarta dengan ledakan penduduknya yang tinggi akan menyerupai dengan image yang diambil oleh fotografer Michael Wong dalam blognya yang berjudul architecture of density.


Sangat mengerikan dan patut untuk direfleksikan kembali.
Apakah kita sebagai arsitek hanya bisa melihat perubahan dari bentuk ruang perkotaan kita menjadi beton yang berulang dengan motif2 yang seragam, skala yang mengerikan dan tanpa bersahabat dengan ruang sekitarnya.

Sayangnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal yang sangat mendesak tidak sejalan dengan peraturan yang memadai dari pemerintah tentang kesehatan dan kenyamanan penggunanya. Apakah kita sudah meregulasikan kebutuhan standar yang benar dari satuan unit apartemen, kebutuhan pencahayaannya, sirkulasi udara, tempat komunitas bersama. Saya ragu, semuanya hanya diserahkan oleh developer yang mengejar efisiensi demi keuntungan saja.

Tak heran apartemen yang terjadi di Jakarta belakangan ini bakal menyerupai dengan apa yang terjadi dengan Hongkong...
    Susahnya mencari bangunan satu ini yang di design oleh Tadao Ando. Bayangkan untuk mencapai ke lokasi kita harus berangkat dari Kobe ke arah miko station selama sejam, lalu dilanjutkan dengan express bus ke Amaji island dan kemudian turun di salah satu bangunan mixused Tadao Ando yaitu Awaji Yumebutai. Selanjutnya baru naik lokal bus yang hanya datang tiap sejam sekali.
Sesampainya di halte bis masih harus jalan ke arah bukit.
Pintu masuk bangunan ini terletak di belakang temple lama dan kita harus mengitari dari samping ,melewati kuburan baru sampailah di water temple Tadao Ando

Tapi memang sesampai disana, proyek ini sangat berharga untuk dikunjungi. Benar-benar pengalaman membuka mata dengan ruang-ruang yang dibuat Ando.
Sebenarnya kalau kita lihat secara denah, bangunan ini cukup sederhana dimana komposisinya terdiri dari 2 garis yang satu garis lurus dan lainnya lengkung dijajarkan dengan bentuk oval kolam. Bentuk oval kolam ini ternyata mempunyai denah kotak di lantai bawahnya yang digabungkan dengan ovalnya. Denah kotak inilah yang menjadi inti dan puncak hirarki dari bangunan ini.





Apa yang menarik dari bangunan ini adalah pengalaman sequence ruang dan hirarki yang ditimbulkannya. Sequence dan hirarki yang dirancang Ando memang punya spirit dari tradisional Jepang. Bila anda berkunjung ke tempe Shinto Jepang, anda akan merasakan suatu pengalaman hirarki ruang yang sama.

Pertama kali bertemu dengan bangunan ini yang kita lihat hanyalah jalan setapak ke arah lubang sebuah dinding beton yang mempersiapkan anda untuk masuk suatu atmosfir atau suasana yang baru dan berbeda.
Pintu atau gerbang disini selain berfungsi sebagai pintu masuk juga berfungsi sebagai simbol bahwa anda akan masuk ke dunia yang lain. Menariknya di temple shinto terdapat gerbang kayu sebagai pintu masuk, Disini Ando hanya menampilan dengan dinding beton yang dibolongi sebagai pintu masuk.


Setelah memasuki gerbang, kita hanya melihat tembok beton kedua yang melengkung dan lantai batu putih. Suasana ini hampir sama dengan ruang peralihan antara gerbang di temple shinto dan bangunan utamanya, tapi Ando hanya merekayasa kembali dengan pemakaian dua material yang sederhana. Mungkin tujuan dari ruang ini sebagai suatu tempat perenungan, refleksi atau untuk menyiapkan diri sebelum masuk yang utama.



Setelah kita mengitari tembok beton yang melengkung, sampailah kita ke kolam oval ini. Yang pintarnya kolam ini sangat  kontekstual dengan sekelilingnya. Selain merefleksikan pantulan landscape dari perbukitan di sekelilingnya, kolam ini memang sesuai dengan landscape di daerah ini yang banyak waduk-waduk kecil. 



Barulah setelah mengelilingi kolam kita masuki suatu jalan turun menembus ditengah-tengah kolam tersebut dan merasakan dari dekat efek refleksi pantulan kolam. 




Dengan rasa penasaran kita turun perlahan-lahan menanti kejutan ruang apa lagi yang ada setelahnya. Setelah turun kita hanya melihat dan mengitari lorong yang gelap dengan pemakaian dua material dinding yang berbeda yaitu beton dan kayu yang dicat merah. Apakah mungkin dinding kayu yang dicat merah ini terinspirasi dari tradisi temple Budha di Asia yang sering memakai warna merah, tapi yang jelas pemakaian dua material yang berbeda ini sangat menimbulkan kontras bahwa ada sesuatu yang penting di dalam dinding kayu merah ini.



Benarlah dugaan saya, ada suatu temple Budha di dalam dinding kayu merah ini, Sejenak kita duduk dan merenungkan perjalanan ruang ini dan berdiam diri di ruang yang tenang ini. Memang sungguh tenang bila saya sebagai pengikut Budha dan berdoa di ruangan ini. Menariknya hanya patung Budha ini yang memiliki penerangan alami dari belakangnya seperti Budha yang memancarkan sinar kebajikannya.



Akhir perjalan sebelum kembali ke arah jalan yang sama, saya melihat kembali cahaya yang menyinari kayu bolong-bolong ini yang juga sumber cahaya yang sama yang menyinari patung Budha di sisi dalamnya. Sungguh pengalaman menarik dari ruang-ruang Ando.





Perjalanan melihat karya Junga Ishigami sebagai arsitek muda Jepang yang baru-baru ini lagi terkenal memang sangat mengispirasi.
Bila kita perhatikan denah, terlihat  posisi kolom didesign secara acak seperti pola pohon yang berkembang alami. Menariknya kolom ini dibuat setipis mungkin dan sengaja mengelilingi ruang kosong untuk beberapa kegiatan. Elemen titik dari kolom disini didesign saling merapat dan berkesan menjadi suatu elemen garis yang membatasi dan mengelilingi beberapa ruang

Sayangnya karena kegiatan workshop yang sangat acak  dan tidak mengikuti ruang yang telah disediakan, efek ruang kosong yang ditimbulkan menjadi kurang terasa. Banyak karya yang besar yang dibuat oleh mahasiswa di gantung di ceilingnya dan ditaruh dimana-mana malah memperparah efek ruang. Memang susah antara fungsi dari workshop yang menjadikan sebagai gudang dan tempat praktek yang tidak punya posisi jelas dalam melakukan kegiatannya berkompromi dengan konsep awal dari arsiteknya.





Yang saya rasakan ketika masuk di ruang ini hanya melihat kolom yang disusun acak dan tidak merasakan ruang yang ditimbulkannya. Mungkin dikarenakan kolomnya kurang banyak dan jarak kolom dengan kolom ini belum cukup rapat sehingga bener-benar terlihat sebagai pembatas .

Saya sejenak berpikir bila  ruang ini difungsikan sebagai museum atau galery mungkin lebih sesuai mengikuti ide awalnya. Ketika objek yang ditampilkan hanya ditaruh di pusat ruang kosong tersebut, efek ruang ini bisa lebih terasa dan pengunjung akan lebih menghargai dan menikmati kolom-kolom yang disusun acak ini. Meskipun begitu idenya memang bagus yang tidak memposisikan kolom seperti bangunan umumnya. Tidak heran Junga Ishigami sebagai salah satu arsitek yang berbakat Jepang.


Ketika saya masih kuliah M.Arch beberapa tahun yang lalu, ada satu kuliah yang menarik tentang global city. Ketika arsitektur menjadi suatu bentuk kesamaan dari international style dan masyarakat yang sudah global, apakah yang membedakan setiap kota di dunia? pertanyaan tentu timbul dengan kota metropolitan Jakarta, apakah yang terjadi dengan masyarakat dan arsitekturnya menghadapi globalisasi. Tentu pertanyaan lainnya apakah kontektual dalam mendesign sudah tidak berlaku dan kita bisa seenaknya mengimport gaya arsitektur dari negara apapun untuk hadir di kota global.

Berbagai isu kita lalui seperti aktor yang terlibat di kota global dimana orang lokal hanya ditentukan dari pemegang ijin tinggal atau visa. Aktor yang datang sebagian besar adalah pendatang dengan membawa budaya yang berbeda-beda yang hanya memakai rumah sebagai tempat tinggal sementara dan nomaden. Gentrifikasi yang terus menerus sehingga demografi penduduk yang terus berubah. Sektor perekonomian yang cenderung berubah dikarenakan pasar dunia yang selalu berubah.

Diskusi dan diskusi kita lalui. Yang paling menarik diperbincangkan adalah meskipun beberapa setuju kesamaan yang terjadi tapi ada beberapa mahasiswa international tidak setuju dengan pendapat ini dan bahkan ada yang menolak terjadinya globalisasi. Beberapa yang tidak sependapat dengan kesamaan ini berpendapat bahwa kotanya meskipun sama dalan arsitektur modernnya tapi tetap berbeda kesan yang terjadi. Meskipun mereka belum tahu apa yang membuat berbeda, mereka tetap berpikir kotanya tidak sama dengan Jakarta, Shanghai, Tokyo,  Kuala Lumpur, Sydney, Hongkong, dll meskipun CBDnya didominasi arsitektur yang sama.

Saya pun salah satu yang menolak globalisasi yang telah banyak mengubah kota makin serupa dan makin banyaknya pendatang merubah budaya lokal dan kita kehilangan jati diri atau indentitas. Tapi ternyata profesor hanya mengatakan saya seorang yang berpikir conventional. Dia hanya mengatakan bukannya menarik bila kita berbeda atau heterogen. Bayangkan kita bisa makan apapun yang kita mau di kota global dari Vietnam, Jepang, Malaysia, Korea, Afrika, dll ada di sisi manapun di jalan. Betul semenjak globalisasi, kota lebih terbuka menerima sesuatu yang baru. Terus prof juga menambahkan, "jangan munafik, kita suka dengan gaya hidup yang serba mudah, nyaman  dan juga individualis di kota. Apakah bisa bila kita balik ke perdesaan dengan komunitas terlalu ingin tahu kegiatan tetangganya.

Akhirnya saya berpikir lagi sejenak, untuk apakah saya mencari arsitektur nusantara di indonesia, bila masyarakatnya sudah suka dengan apa yang diimport dari negara lain. Apakah saya menjadi seorang konventional seperti layaknya beberapa arsitek-arsitek senior di Indonesia yang selalu mencari identitas dari arsitektur nusantara yang semu. Apakah saya mulai menjadi budayawan yang tidak sadar budaya sudah berubah.
Pertanyaannya juga kenapa kita mau melihat masa lalu sedangkan kota selalu melihat kekinian dan kedepan. Berpikir hanya mendapatkan pertanyaan yang lebih banyak.

Sebenarnya pertanyaan ini dipertanyakan karena kita berusaha mencari identitas kita semenjak modernisasi terjadi atau hanyalah dikarenakan kerinduan dan nostalgia belaka untuk balik seperti masa lalu ketika masyarakat sekarang serba materialitis dan konsumtif karena faktor globalisasi.  Pertanyaan membuat saya membaca tentang Singapore dimana ada satu artikel juga dimana penulisnya mengungkapkan kota Singapore mencari indentitasnya yang susah didapat setelah kotanya didominasi pasar international dan arsitektur international. Yang menariknya indentitas yang dicari pemerintahnya hanyalah untuk mengejar nasionalisme belaka, agar rakyatnya bisa bangga bahwa mereka warga Singapura. Tentu saja dengan globalisasi yang serba sama, mereka mencari apa yang berbeda supaya dikatakan Singapura. Bila perlu indentitas ini direkayasa lagi dan dicari-cari dari sesuatu yang berbeda yang terjadi di keseharian masyarakatnya. Lagi-lagi dalam rekayasanya, Arsitektur iconiklah yang dicari untuk mendapatkan sumber devisa dari turis. Inilah perwujudan esplanade, marina bay sand, sentosa resort world...

Lagi-lagi kemunculan bangunan iconik ini muncul dimana-mana di seluruh kota global sebagai simbol identitas yang direkayasa. Dari Sydney opera house, Burj Kalifa, Taipei 101, Petronas tower, oriental pearl tower Shanghai, dll.

Pertanyaan yang sama ternyata dipertanyakan oleh Rem Koolhas dalam venice architecture Biennale 2014 tentang progres dari 100 tahun Global Arsitektur apakah kita menjadi sama dan tidak sehat dalam keadaan arsitektur saat ini. Atau apakah arsitektur merekonstruksi sendiri dalam hubungan dengan konteks terkinian.




concept diagram for national pavilion - dezeen


Sungguh menakutkan atau dirayakan melihat perkembangan diagram 100 tahun perbedaan arsitektur yang terjadi kota-kota dunia diatas ini.

Pertanyaan ini dijawab oleh tim Indonesia dengan tema ketukangan: kesadaran material. Pertukangan menjadi suatu proses umum yang terjadi di konstruksi Indonesia. Tukang disini bukan hanya sebagai labour atau pekerja murah yang tidak berpendidikan tinggi tapi bisa siapa saja yang terlibat dalam proses membangun. Dalam prosesnya mungkin sesuatu yang dianggap sebagai kesalahan malah menjadi sesuatu kejutan dalam perwujudan arsitekturnya itulah pesan tim Indonesia.

Terjadi hubungan timbal balik antara arsitek dan tukangnya apakah terjadi karena minimnya pengetahuan membaca gambar konstruksi dari arsitek atau arsitek tidak sempat mengerjakan gambar kerja ini karena feenya yang selalu ditekan sehingga semua terjadi secara spontan sehingga dikerjakan langsung di lapangan dengan tukangnya. 

Lagi-lagi perwujudan ketukangan yang berbeda hanya terjadi di proyek-proyek kecil dimana proses pekerjaan masih kabur. Sangat berbeda bila mengerjakan proyek besar dengan semua keinginan perencana sudah jelas dan tukang hanyalah sebagai alat mewujudkan designnya. Kesalahan yang terjadi dalam design tidak mungkin menjadi sesuatu yang menarik, kesalahan tetap menjadi kesalahan. Inilah yang menentukan kualitas seorang arsitek yang berpengalaman dari mencegah kesalahah konstruksi dan bukan menjadi pekerjaan tambah.

Menjawab tema ketukangan apakah menjawab kesalahan arsitek dan ketidak pengalaman perencananya yang terjadi selama ini di Indonesia yang mengakibatkan try and error di lapangan sehingga hasilnya menjadi sesuatu yang unik. Atau dalam prosesnya tidak ada arsitek yang terlibat, hanyalah client dan tukangnya langsung. Meskipun begitu memang salut dengan materi yang disajikannya. 

Yang membuat saya berpikir kemudian apakah yang terjadi di Indonesia hanya sebatas pertukangan. Saya pikir banyak yang berbeda tapi belum teranalisa. Bila pun ada kesempatan, saya lebih tertarik menganalisa secara perkotaan. Perbedaan yang cukup tajam dari gap ekonomi antara si kaya dan si miskin di Indonesia telah menjadikan suatu ruang yang sama sekali berbeda. Munculnya perkampungan di kota dengan ruang yang acak tapi mempunyai keadaan self-organise bercampur dengan pola perumahan golongan menengah keatas yang teratur seperti pola perkotaan barat pada umumnya, munculnya pola kantong atau enclave pemukiman yang terjadi karena politik dari penghuninya, program yang sangat efektif di jalanan, sistim yang saling tumpang tindih karena perencanaan kota yang tidak terencana dengan baik, komunitas yang sangat heterogen yang terjadi, dll.

Apakah itu yang terjadi penolakan, perlawanan, konflik, adaptasi, asimilasi, peimporan, penengahan... masih banyak yang belum teranalisa. Apakah ini yang disebut sebagai residu atau sisa yang terjadi dikarenakan modernisasi dari globalisasi. Apakah pola inikah yang menjadikan kita berbeda dengan kota lainnya, masih banyak pr yang belum terjawab. Menurut saya bukanlah masa lalu yang kita selidiki untuk menjadikan arsitektur nusantara atau arsitektur Indonesia modern tapi penyelidikan kekinian yang berbeda karena residu ini. 
Takutnya pembangkitan tradisional masa lalu hanya sebagai penyelidikan arkeologi belaka dimana spiritnya sudah hilang diperkotaan kini. Bukannya penyelidikan ini tidak penting, tapi yang dicari adalah bagaimana mengembangkannya dengan konteks terkinian.









     The story of I.M.Pei as an architect was a story of  a man who known to public as an elegant, charming, thoroughly diplomatic individual, and has a gift with the powerful. As his fate to be a tribute a lot of  important person in history, his story can be associated with a classic fairy tale story about Merlin, King Arthur’s witch as an important advisor. In 1970s, when I.M Pei and number of associates had a working trip to Iran, they were persuaded to seek out a local fortune teller. The fortune teller rapidly impressed them for his correct assessment of  Pei : “He is very interested in meeting kings and queens”. People who worked with I.M Pei often mention that he was easily to know within a minutes who the influential person is and which are the key occasions in the room. Other colleagues said he was a sales man architects, he has a gift to negotiate to the clients and know about priorities at the beginning of conversation.

      Ieoh Ming Pei which known as I.M.Pei was a son  of  a prominent banker, he raised in Shanghai and China. Then, at the aged of  17, he went to United states to study architecture in MIT. In 1942, he continued his study under Walter Gropius influence in Harvard Graduate School of Design, and completed his M.Arch in 1946. He became an assistant professor between1945 to 1948. I.M.Pei became a naturalized citizen of the United States in 1954. Before established his own firm, he worked to William Zeckendorf  whom gave Pei a taste of commercial realities and large scale urban practice. Although I.M.Pei learned at Bauhaus influence with anti-historical, he did not totally embrace the philosophy. And when, the post-modernist  counter movement began to stall, he found his aesthetic comfortably. He remains devoted to simple, rigorous, sculptural geometry forms in modernist tradition. Beyond that, he also studies the site with care and seeks how the building to fit into a larger urban or landscape composition. (Wiseman,C 1990)     
                                                                   
        In the legend of  King Arthur in Britain, the king had the help and advice of a powerful wizard named Merlin. Merlin predicted that a young Arthur will become a great king and united all Britain. The wizard fashioned the magical sword  excalibur which proved that Arthur was the rightful king. According to the story, he also created the round table around which Arthur’s knight sat. He is the trusted adviser and helper of Arthur’s kingdom, although he could not prevent the fall of Arthur. The architect’s biography has a similar story with Merlin. As if  Merlin give a magical sword of excalibur to Arthur, I.M Pei had done his magic in louvre museum project in France for Francois Mitterrand, president of France. The Louvre project was the most  important project of I.M Pei. It was commissioned by Emile Biasini, a Mitterrand's right hand on the louvre after he made a strong impression in Pei's East Building on his museums touring in the United States. Before Pei accepted the offering, he asked for four month to study the possibility and problems to alter the louvre. He subsequently made three trips to Paris, staying for a weeks at the hotel Crillon, a short walk from the museum. The architect investigated the history of  Louvre, France and given a laissez-passer to go anywhere he wanted in the Louvre. Back in New York, he set a team of architects for this project. The team was Pei's son Didi, Yann Weymouth, Leonard Jacobson. Most of them had worked with him in East Building.

       Pei saw the challenges to design this project. Firstly, its position as historical site at the central of Paris  which links the Louvre to the Arc de Triomphe. Its alteration would have an impact on the heart of the city. Secondly, the Louvre required a lot of additional space to accommodate their collection. Lastly, the issue how to enter the museum as it had u-shaped three wings and Cour Napoleon, the open area between the wings. The solution of this issues was by excavating the Cour Napoleon to get  more additional space beneath it and by locating the entrance in the central of the court. Although it could bring visitors close to all three wings, Pei could not dig very deep as the river was so close. The idea of a glass pyramid at the center of the court came after he studied of seventeenth-century classical French’s landscape design. It also accomodate the need of a high transparent roof  to avoid subway station effect. The neutral and basic geometric shape of pyramid would not compete and intrude only minimally on the view of the existing buildings. He also added three smaller glasses pyramid above the passageways on each building to orient visitors and bring in light.  The main pyramid were 116 feet on side and 71 feet high and the three smaller pyramids were 26 feet on  side and 16 feet high. Then, he added reflecting pools and fountains surrounding the main pyramid which reclaimed the courtyard as an active urban space.

       Finally, Pei invited Biasini to New York to see their final design. After Biasini studied the model, he liked the idea of  the design and asked him to present it to the commission Superieure des Monuments Historiques, an advisory group dedicated in matters of  Paris landmarks. On January 23, 1984, with confidence that the design would  be well  received by the French public, Pei and his teams departed to Paris for the presentation. The result was far from their expectation, the committee condemning the project and denounced it as something that was “outside our mental space, gigantic, and ruinous gadget”. Two days after the meeting, many critics responded to the Louvre project, such as a member of French academy wrote that the pyramid would be “an atrocity” and accused Mitterrand of “despotism”, Le Monde headline the story of ‘the house of the dead’ and compared to Pei’s design to ” an annex to Disneyland”, and Le Figaro magazine condemned it as simply “inadmissible”. (Jodidio, P.  2008)

      Pei estimated that 90 percent of Parisians opposed his design. He received many angry glances in the streets of Paris and some carried nationalistic overtone that dislike the architect was not  French, but a Chinese-American. Although, Pei and his team had a support from Mitterrand, Mitterrand’s socialists had feared would losing power to Chirac, a conservative coalition leader. Soon, they got supported from several key cultural icons, including the conductor Pierre Boulez and Claude Pompidou, widow of Georges Pompidou, former French president. As Chirac asked, Pei built a full-sized cable model of the pyramid in the courtyard to exhibit for French people. Many people were surprised that it was not as large as they feared. The most dramatic part during construction was in the construction and the material of glass pyramids. Finding the suitable clear glass was not that easy as it needs a small amount of  iron-oxide.  Pei using a clear glass made of pure white sand from a quarry in Fountainebleau, after extensive consultations with French manufactures. In pyramid’s construction, he used a steel spider-web made up of  128 crisscrossing girders secured by 16 thin cables that support the 675 diamond-shaped and 118 triangular panes to minimize any obstructions to the view through the pyramid. Because the exterior was so pristine and the interior surface so difficult to reach, he hired a team of trained mountaineers.

      The new Louvre was opened on October 14, 1988 and the pool showed that 56 percent in favor of the pyramid, with only 23 percent against after the opening. The French’s magazines which previously against it become soften and adore the pyramid. Some observer was compared the flip-flop in official opinion with the Eiffel tower and the Britain’s Prince Charles pronounced Pei’s work “marvelous, very exciting”. Once again Mitterrand prevailed at the polls and conferred on Pei the Legion d’Honneur.

      Pei as an architect investigates every challenge to his design, and with  brave heart, he takes the challenges and try to solve its problems. He takes responsibility to his design and always involved himself in many major as well as minor decisions of the buildings. For the Louvre, he was even more attentive than usual to give his client, Mitterrand a magic of the pyramid, likewise Merlin give Arthur the Excalibur sword and help him to be a trusted and great king of Britain.

Reference List

Jodidio, P.  2008, I.M.Pei : complete works, Publishers Group UK ,New York.
Pei Cobb Freed &  Partnerts Architects llp, viewed 20 August 2012.
      <http://www.pcf-p.com/>
Wiseman,C 2001, the architecture of I.M.Pei, Thames & Hudson, London.
Wiseman,C 1990, I.M.Pei : a profile in American architecture, H.N. Abrams, New York.



Siapa yang tidak ingin mempunyai rumah sendiri sebagai tempat untuk berkeluarga dan istirahat setelah seharian bekerja. Tapi kenyataan berbicara lain untuk kalangan pekerja di Jakarta.
Jakarta termasuk kota yang mahal untuk ditinggali.

Banyak dari pekerja yang mempunyai gaji bisa dibilang standart yaitu berkisaran 1.5 juta sampai 5 juta hanya bisa memimpikan bisa punya rumah di Jakarta. Banyakan dari mereka terpaksa tinggal di rumah sewaan atau kos-kosan di daerah sekeliling Jakarta seperti Tangerang, Bekasi, Cibubur atau pun Bogor. Rela macet-macetan selama lebih dari 2 jam pergi bekerja di pusat Jakarta. Pergi ke kantor sangat pagi dan pulang dari kantor sangat malam. Adapun dari mereka rela menghabiskan setengah atau lebih gaji mereka hanya untuk sewa ruang kecil di Jakarta.
Bahkan sekarang karena tambah padatnya Jakarta, harga di daerah sekeliling Jakarta, harga rumah sudah terbilang tidak masuk akal juga.


Apakah Jakarta warganya kebanyakan orang berduit?

Bayangkan untuk memiliki properti di Jakarta bisa mulai dari 500 juta keatas. Itupun hanya harga apartemen murah tipe studio dengan luasan yang sangat kecil sekitar 25 m2 untuk yang termurahnya. Untuk memiliki rumah dengan tanah iyupun di daerah yang bukan elit, harganya sudah mulai dari 800 jutaan.

Sekarang yang tambah miringnya, harga-harga tanah di luar Jakarta seperti di daerah BSD, cibubur, sentul sudah makin bersaing dengan properti di Jakarta. Untuk mempunyai properti rumah di daerah cluster developer di tempat ini harganya mulai dengan 800 juta ke atas dan lokasinya juga sudah dibilah jauh dari pusat Jakarta.

Hitung-hitung dengan simulasi KPR untuk ukuran 20-30 tahun, anda harus membayar DP sekitar 50 juta pun kreditan tian bulan bisa mencapai 6-8 juta. Ini yang tidak masuk akalnya, gaji rata-rata standart pegawai Jakarta yang telah saya sebutkan sebelumnya apa mampu mempunyai properti ini.

Apa bisa kita tarik kesimpulan bahwa warga Jakarta mayoritasnya orang-orang berduit yang bisa memiliki properti ini. Tapi herannya, bila penulis tanya rumah di developer terkenal ini bilangnya sudah mau sold out semua dan harga akan naik lagi.  Memang benar, entah kenapa ajaibnya perumahan baru ini apalagi di Jakarta bisa cepat ditempati.


Rumah sebagai investasi

Dengan perasaan heran dan bertanya-tanya kok bisa ya warga Jakarta ini mempunyai properti-properti mahal ini.
Penulis iseng-iseng mengobrol dengan seorang ibu yang mau membeli properti rumah 2 kamar sekitar 700 jutaan di cluster developer. Setelah diajak bicara, ibu ini mengaku sedang mencari anaknya yang baru kawin rumah tinggal. Sewaktu saya tanya apakah pekerjaan anaknya, mulailah ibu ini bercerita bahwa anaknya bekerja sebagai seorang pegawai swasta di bank setelah lulus dari jurusan ekonomi.
Lama-kelaman bercerita, barulah ibu ini mengeluh tentang gaji anaknya yang kecil dan susah naiknya meskipun lama kerja. "Kalau saya tidak membelikan, kapan dia kesampaian beli rumah yang tiap tahun naiknya hampir dua kali lipat, ya hitung-hitung saya memberikan modal untuk dia bisa hidup kedepannya, jadi saya tenang kalau saya sudah tidak ada" katanya. Wah saya bilang, andaikan saya anak ibu, saya sudah tidah usah pusing-pusing mikirin KPR lagi.

Saya berbicara lagi dengan seorang bapak yang juga mau membeli properti yang sama. Dia bilang kalau dia mau mencari keuntungan dengan investasi properti. Bapak ini bercerita bahwa bisnis sewa menyewa properti atau menjual rumah sekarang menguntungkan. Baru-baru ini dia menjual propertinya yang dulu hanya sekitar 600 juta menjadi dua kali lipatnya hanya dalam kurun waktu setahun. Sekarang dia berkeinginan untuk menyewakan properti barunya sekitar 50 jutaan setahun. Saya berpikir kembali, bapak ini beruntung sekali, sekarang dia hidupnya hanya menunggu uang sewa saja.


Tidak terkendalinya kenaikan harga properti

Mungkin ini bukan cerita yang baru, tapi sudah sering dikeluhkan oleh bloger yang lain. Beberapa bloger bercerita tentang taktik pengembang yang suka-sukanya menaikkan harga properti tanpa ada kompromi dengan pembelinya. Dari harga pembuka ketika dipasarkan lebih rendah lalu tiba-tiba dinaikkan beberapa puluh juta sampai ratusan juta setelah permintaan meninggi. Kadang-kadang kenaikkan harga ini tidak didasari dari kenaikan harga bahan bangunan atau inflasi yang terjadi. Tapi semata-semata taktik developer yang menakuti pembelinya agar tergesa-gesa membeli propertinya sebelum harga makin naik atau akan diberikan bagi pembeli yang lain.

Kurangnya perlindungan hukum dan program rumah murah dari pemerintah menyebabkan developer menjadi diatas angin. Developer sekarang bisa suka-suka menaikkan harga, tidak menyelesaikan waktu penyerahan rumah seperti yang dijanjikan, mengurangi kualitas material karena mereka tahu bahwa permintaan rumah sangat tinggi dan pembeli tidak bisa apa-apa. Hebatnya juga kadang-kadang kredit sudah jalan setengahnya tapi rumah yang dijanjikan masih juga belum selesai (ini biasanya terjadi pada developer kecil dengan model pas-pasan).

Perlombaan menaikkan harga rumah dan tanah ini juga bukan hanya dari pihak developer semata, tetapi dari masyarakat sendiri. Masyarakat yang mulai serakah mencari keuntungan dari jual tanah atau rumah berupaya menaikkan harga yang tidak kira-kira dari batas wajar dan lalu diikuti dengan tetangganya yang juga ikut-ikutan fenomena ini.

Seharusnya  kita belajar dari pemerintah Singapore dimana program rumah rakyat yang terjangkau yang dikenal HDB sudah berjalan mengimbangi developer perumahan. Karena program ini developer tidak bisa seenaknya menaikkan harga kecuali mereka mempunyai kualitas dan service yang lebih baik dari perumahan  umumnya. Pemerintah pun mudah mengontrol kenaikkan properti supaya tidak berimbas ke masalah perekonomian dari banyaknya kredit macet.

Menariknya peraturan pemerintah Singapore juga melarang untuk yang sudah memiliki rumah atau apartemen dari developer untuk mempunyai HDB ini. Tapi sebaliknya, bila sudah memiliki HDB, pemilik boleh memiliki private properti bila sudah menempati HDBnya selama 5 tahun. Dengan cara ini pemerintahnya menjaga supaya banyak orang berduit tidak membeli banyak properti yang menyebabkan warganya yang pas-pasan tidak kebagian jatah rumah.

Global city untuk siapa?

Beberapa isu ini memang bisa dibilang terjadi di kota-kota besar lainnya  yang disebut global city. Kota dimana kemajuan ekonomi lebih dinomorsatukan dan didominasi oleh sektor service yang punya hubungan international. Jakarta adalah salah satu global city yang mempunyai isu yang sama dengan Jepang, Hongkong, Singapore, Sydney, dll.

Dikarenakan Jakarta dijadikan baik pusat bisnis international atau nasional, maka penduduknya pasti pulang pergi ke pusat kota seperti yang terjadi di kota global lainnya. Pusat kota menjadi sangat penting dan tentu saja harga tanahnya menjadi sangat tinggi. Terlebih dikarenakan prasana dan sarana yang baik, pusat kota menjadi yang paling banyak dicari. Banyakan penduduk Jakarta yang mempunyai properti di kawasan strategis di Jakarta adalah orang yang sukses berbisnis secara international maupun national.

Kondisi inilah menyebabkan orang yang tidak mampu tersingkir ke luar kota. Hanyalah orang yang berduit yang mempunyai properti di kota. Inilah wujud kota kapitalis modern dimana ekonomi sebagai tolak ukur. Beberapa masalah seperti gentrifikasi, kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, individualisme, dll mulai terjadi di masyarakat. Bahkan di global city yang lain, penduduknya sudah banyak yang bukan lokal yang tinggal di pusat kota tapi orang-orang dari luar negeri yang berinvestasi di negara tersebut atau expatriat.

Gentrifikasi disinilah juga yang membuat kenaikan harga makin tidak terkendali dimana yang berduit membeli properti perumahan di tempat penduduk yang kurang makmur, Selanjutnya mereka akan mengelolahnya menjadi cluster elit dan menjualnya dengan harga tinggi.
Beberapa langkah telah dilakukan oleh para kritikus kota, arsitek, budayawan dan kalangan umumnya untuk mencegah gentrifikasi ini seperti program perbaikan kampung, peremajaan lingkungan, penyuluhan masyarakat. Tapi sayangnya aktor-aktor yang terlibat hanyalah sedikit. Dibutuhkan lebih banyak kritikus kota dan arsitek untuk dilibatkan  yang seharusnya diajarkan semenjak akademik sehingga lulusan baru dari bidang ini tidak terjebak oleh pencarian duit semata di bidang developer.

Akhir kata inilah beberapa pemicu terjadinya kenaikan harga-harga rumah yang tidak masuk akal ini. Mungkin saja ini hanya sebagian kecil yang bisa terbahas dan masih banyak lagi faktor lainnya. Sebenarnya beberapa isu membutuhkan peranan Pemerintah yang seharusnya lebih banyak berkonsultasi dengan pakar-pakar di bidang perkotaan untuk menjawab persoalan ini. Tapi Pemerintah juga tidak bisa apa-apa bila didukung dari masyarakat sendiri. Mudah-mucahan dengan tulisan ini bisa membawa pedebatan dan diskusi yang lebih sehingga hasilnya bisa membawa dampak harga rumah lebih terjangkau dengan pendapatan pegawai.


Andreas Gursky salah satu photographer yang menjual salah satu karyanya dengan judul los angeles senilai $2.9 million dan cent senilai $3 million. Yang menariknya karya-karyanya memperlihatkan suatu landscape dari abad modern. Dari produk, arsitektur, perkotaan dan proses industri, foto-fotonya memperlihatkan pengulangan dan kesamaan terus-menerus dari mass production yang terjadi dari keseharian kita.

99 cent

shanghai
paris montparnnasse

Siapa yang tidak kenal iphone. Zaman sekarang kalau tidak punya barang ini, dianggap tidak gaul dan trendy. Tetangga punya, teman-teman fb punya, gimana nga sirik... bela-belain kredit demi dapat barang satu ini. gaji sarjana 3 juta, punya iphone 9 jutaan, nah top kan. Sebagai simbol kemakmuran, iphone jadi barang bermerk untuk pamer dan gengsi.



Lucunya, orang rela mengantri seharian demi dapatkan yang pertama dari produk versi terbaru iphone.

Budaya memiliki barang sejenis yang branded sudah jadi budaya international di kota-kota besar dan mental penduduk kota jakarta juga mengikuti global tren. Masyarakat modern yang konsumerisme tentu tidak mau kalah dengan yang lainnya. Herannya kok nga kreatif, mau sama dengan yang lain.
kalau pun beda pun cuma hanya tampilan atau casingnya iphone saja yang menunjukan indentitas berbeda dari kepemilikannya.


Balik lagi bicara arsitektur, apakah mass production dari bentuk- bentuk international style hampir mirip dengan analogi iphone. ketika masyarakat sudah berubah menjadi konsumerisme akibat produk kapitalis modern, apakah arsitektur modern saat ini berbicara hanyalah sebagai produk layaknya iphone.

Denah yang mirip dan sama dari tipe2 yang ditawarkan developer dengan tampilan saja yang berbeda, dari klasik, tradisional sampai minimalis. Masyarakat yang sudah terbiasa hidup dengan kesamaan dengan identitas yang hanya di tampak atau permukaannya saja layaknya casing iphone. 
bangunan-bangunan commercial dari merk2 perusahaan terkenal yang mirip2 dengan kota besar lainnya...

Ketika gawatnya, arsitek kita sudah terpengaruh dengan produk arsitektur modern yang mirip-mirip dari publikasi yang terus menerus. Denah yang mirip-mirip juga yang tinggal ditiru dan disesuaikan baik dari majalah tropis negara tetangga, archdaily, dezeen tanpa explorasi lebih jauh. Yang terjadi ya ke-jepang-jepangan, mirip singapore, eropa...Tapi ya mau gimana, masyarakatnya yang sebagai cliennya juga sudah lupa ingatan dengan identitas atau budaya mereka sendiri, lebih suka budaya yang sama-sama itu. 
Rumah gua didesign mirip kaya majalah terkenal itu lo... la kebanggaan sekarang layaknya memiliki iphone...

Introduction

     "Children are particularly fond haunting any site where thing are being visibly working on. They are irresistibly drawn to detritus generated by building, gardening, housework, tailoring or carpentry. In waste product they recognize the face that the world of things turn directly and solely to them. In using these things, they do not so much imitate the work of adults as bring together, on artifice produced in play, materials of widely differing kind in new, intuitive relationship". (Benjamin,1976)

     Global city leads to social polarization and spatial segregation. The gap between the rich and the poor is highly different in these city that lead to emergence of global slum. Higher cost living in city
forces lower class to find alternative way to survive. The advanced economies and large cultural sectors of global cities have developed a range of working connections with slum dwellers. Many of these so-called backward sectors are actually servicing the advanced economic sectors and their high-income employees. Parts of the traditional small enterprise sector and of the informal economy service particular components of the advanced sectors in a city. (Sassen, 2011)

     According to UN-HABITAT, around 33 % of the urban population in the developing world in 2012 lived in the slum and expected to double by 2030. Extremely disturbing to the fact that there is little or no planning to provide them with services and accommodate the dweller.

     This slum dweller is inherent in child's eye view of the city as Benjamin said. This lower class occupied the area of urban emptiness in the city such as abandoned industrial site, space under the bridge, empty park etc. They habit these space by using different waste material that city provide. Although it is an illegal action, they creatively transform the space become their home, office, home industry by doing collective improvisatory action in the reconfiguration of given object, materials and spaces.

    This short essay will investigate what we can learn from slum urbanism of kuningan village in Jakarta and how the architects, artist, urban planner around the world investigate the slum and what we can learn from it.

Slum in Favera, Brazil

Slum in Mumbai, India
Slum in Jakarta, Indonesia



1. Study cases - Kampoeng Kuningan

   Slum area in Jakarta is named as ”kampoeng” or village. The  name is given as the way of their informal habitation imitated the rural life. The formation and expansion of kampoeng is caused by
rapid rural-to-urban migration. Many people moved to urban area because cities promised more jobs and facilities. The formation  makes enclave and become city within city.

   Kampoeng Kuningan is located inside the perimeter of golden triangle area in Jakarta (the area that bounded by three major roads of major business and finance– Sudirman road, Rasuna said road and Gatot Subroto road). They occupied a big highly value plot land in the middle of central business. According to Land use planning from Jakarta’s government, the kampoeng area is mostly
dedicated for residential zone. (diagram 2).

Diagram 1 - location of Kuningan village. Source: Google earth

Diagram 2 - Land use (Source: Jakarta government website)



Mix program in Kampoeng Kuningan

     As there is no proper planning on the kampoeng, the land used has changed from residential to mix used. The changing of this land used as a result of creative and self organism process. Their illegal occupation has turned the land become combination of home industry and house. As the road and the sidewalk around the kampoeng is highly used, the retail and service program like small groceries shop, coffee shop, electronic shop, saloon, laundry mostly formed along the main road. The program like small agriculture industries such as small cattle depot of goat is located inside the area.

     Moreover, the member of the Kampoeng’s community understands the potential of void space between commercial blocks in CBD area. Consequently, they always occupied these area by their mobilized informal kiosk, hawker, streets vendors. These informal activities is needed by low and middle class worker who work in CBD area.

     Kampoeng Kuningan is a vibrant communities of people. They incorporate a whole range of social, community spaces and facilities. From the most minimal space for social interaction at the door step to the optimum community spaces for various social and cultural activities. They have an ever evolving network of social institutions. They have a niche, religious facility depending on their faith. This provides them with much needed spiritual strength to survive and struggle. (Diagram 3)

     Looking to diagram 4, there is a connection between the quality of the buildings to the fabric of the Jakarta city. Modern capitalist has made a different pattern of social segregation. The average and bad quality buildings is dominated by low income family of kampoeng. The pattern of these buildings are scattered as a result of no proper planning. In contrast, the good quality buildings are located in the area of standardized urban pattern. The pattern was planned by private developers for middle and upper class. Together they form a mutual organization and a diverse fabric of Jakarta.






Efficient shelter

    The dwellings in Kampoeng Kuningan has an optimum utilization of living space on minimum area. They are conceived as multi-functional living spaces, with over-lapping functions of living, sleeping, dinning, studying and family interactions. The building area approx.12-18 sqm with 5-9 people live as nuclear & extended family. The shelter is not a fixed system, but it grows as the needs of spaces (Diagram 5)

    The slum-dwellers use minimum building materials from available local building materials to create their living space. They use old and used tin sheets, timber rafters, joists and posts, country tiles, plastic sheets and other recycled materials. They built their shelters by themself with their limited technical expertise and creatively adapted to their needs.



The failure of government project

    The Jakarta government tends to do kampoeng removal project, rather than upgrading. They think kampoeng as poverty and environmental degradation. The government removed the people from their kampoeng to a subsidized apartments located in far-away from city centre. Then, they demolished the kampoeng and built subsidized low-cost apartments on the site. The apartments will be used for other low-income family from other kampoeng area. Before the demolishment, the dweller usually reluctant to move as their economy depends on the location near to the city centre. When people lose their homes in the community, they also lose their businesses.

    What is worse, such subsidized projects were often commissioned to a private developer, who managed to reduced the construction cost by using low quality material and managed to sell it to middle and high income people for more profits. Morever, people from kampoeng who used to have
social interaction on the streets can not stand living in an apartment.


The street as social space

    The Kampoeng used up to 80% of the land as ground-coverage for their housing. This enables them to have much higher densities without going higher. As a typology, it is a contrast to modernist approach of high-rise development with less ground cover.

    These collective occupation and unplanned development of the slum has created a scattered configuration of forms and provided little space for green and open space. Consequently, the slum area has turned its street, small aisle or lane way to action arena coexisting with civilian used for transportation.

    As there is lack of planning, the boundary between private and public is blurred. Street becomes collective front yard for the dweller. Street in slum area has succeed to transform into a place for human encounter, playground and a stem of public life.

    The self-organization of scattered dwelling turns its street to a labyrinth-like and creates many porosity to main road. Although it causes disorientation, the pattern has created a diverse pattern of urban fabric of Jakarta.





What can we learn from Slum urbanism?

a. The formal vs informal

    The pattern of slum urbanism is different from generic suburb. Generic planning intends to standardize urban living and its citizens. When spaces and citizens are divided according to predetermined classifications, they become atomized particles that respond only to themselves and are left to negotiate a world without the connective tissue that weaves individual buildings into a collective.

     Unable to foster social cooperation to generate an engaged public sphere, the individual then withdraws inward, into the privatized place of self. (Morphosis, 2011).
In contrast, slums are the constructive results of collective efforts of a group or community. Slums are not built as a result of ego centric gesture of an individual or a corporation.


Generic Suburb- Almere, The Netherlands (Photo by Ekim Tan)


    In Almere, residents frequently asked to make their own cities, or to build their own house. This condition is an attempt for cracking the monopoly of housing corporations and planning system from top to bottom. Furthermore, they calls for freedom in planning, for the involvement of residents and other stackholders.

    Planned cities as dull and monotonous and some event maintain that the modernist planning ideal of the 21st century should be seen as the biggest planning debacle in human history. (Adri Duivesteijn, Almere’s alderman for planning, interviewed February 2010)



    The work of Urban think tank for South African Slum shows that planning can work from bottom to top. The group of architects try to work within existing fabric and follow the very nature of the slum growth. They demonstrate how architects and urban planner can do their intervention by proposing firebreaks, visual controlability and integration, access route for emergency vehicles and providing basic services (water and sanitation)





Master plan for slum upgrading in Capetown,
South Africa. Design by Urban Think Tanks in
collaboration with ETH Zurich university



b. No mono neighbourhoods

       Base on understanding the diversity of program and self organization of slum, Brands and Marco Broekman proposed a masterplan for the new neighbourhoods Triangel in Waddinxveen by designing
flexible design strategy that can grow and develop over time. To break-up from standardized urban pattern, the architects proposed to distort the grid inspired by accidents in the grid-structures of cities like San fransisco, Melbourne and Minneapolis. Moreover, the architects proposed to have different character of neighborhoods.





Diagram 8 - Masterplan competition for new neighbourhood Triangel in Waddinxveen, 2008.
Design by Bart Brands, Marco Broekman in partnership with Change Architects (Amsterdam)

Organic city, Olympiakwartier Almere, The Netherlands (Source: MVRDV)

     Organic city is reflection of the new housing development where the master plan assigns every building a different facade, resulting in a quasi-oranically evolved street frontage. The design as a critique to monotonous planning in Almere

c. No mono building’s facade

 The image of Dioniso Gonzales shows us the organizational conflicts that squatters wrestle with in their struggle to survive, exposing tensions of being caught between the unnoticed accomplishments of their own self-assembly and of being re-imaged by some formal outside. might say, in their very
lack of formal planning, that the favela is unwittingly designed to resist any sense of conformity to our organizational understanding – to our westernized viewing of them (Finoki, 2007)

By looking this image, there is an aesthetic of chaos that is produced by slum which is different from the standardized modern housing



Photography montages by Dionisio Gonzalez - mixes slum and contemporary architecture



d. The absence of borders

We can learn the potential of the scattered slum urbanism by analyzing Moriyama house. Ryue Nizhizawa argue that by dismantling the program and distribute each of them separately turns its structures into a cluster and the landscape begins to emerge. Moreover, the alleys in this
neighborhoods don't necessary serve as passages. People’s sense of living expands beyond it, effectively erasing all borders. (Koh,2010)

Moriyama house plan by Ryu Nizhizawa


e. Grown and flexible house

There are a lot of growing concern by architects, urban planner and institution to study and understand the logic of informal housing process. The evolutionary process that happens
in kuningan village is similar with Favela slum. Both are maximizing the use of space on minimal site with using low cost material. The housing unit is not a fitted system, but its a growing
system. This unit needs to accommodate the growing number of family member and the changing
activity of the house.






Evolutionary and incremental housing procress in favela da Mare, Rio De Janeiro: From
shack to permanent housing and from public housing unit to expanded self-help housing product (source: Varella, B., Bertazzo, I., and P. Jacques, Mare Vida na Favela, Rio de Janeiro: Casa da Palavra,2002)


Urban think Tank proposed standardized slum house with low cost material for slum in Capetown,
Africa. The plan of the house is minimal and optimal in using the space. The design respond to the
need of space for small business on the ground floor. Furthermore, the house can be grown and flexible to change as the dweller needed (diagram 9)

The group tries to study the growth of slum house with different scenario that can be adapted by standardized house (diagram 10)


Diagram 9 - Urban think tank - plan of standardized units for
Capetown slum, South Africa




Diagram 10 - Urban think tank - Diagram shows variety
configurations of expansion and how units in clusters around
shared space and infrastructure





PARACITY Danshui River Island in Taipei: Marco Casagrande, Menno Cramer, Katie Donaghy,
Niilo Tenkanen, Nikita Wu, Joni Virkki, Ycy Charlie, Sauli Ylinen, Dave Kan-ju Chen.
Source: http://casagrandetext.blogspot.com.au

    While Urban think-tank looking for standardized low cost house that can be expanded and clustered, the paracity in Taipei designs one system that can be modified and grown in every condition of site and in the same time can respond to the self- organized communities and environmental sustainability.

Paracity is a biourban organism that is growing on the principles of Open Form: individual design-build actions generating spontaneous communicative reactions on the surrounding built human environment and this organic constructivist dialog leading into self-organized community structures, development and knowledge building. (Casagrande, 2014)



  The growing organism the Paracity is based on a three dimensional wooden primary structure, organic grid with spatial modules of 6 x 6 x 6 metres constructed out of CLT cross-laminated timber sticks. The assemblage of these modules become master plan in Danshui river, Taipei.

Source: http://casagrandetext.blogspot.com.au

    Master plan of Paracity in urban farming island of Danshui River, Taipei City. The island is located between the Zhongxing and Zhonxiao bridges and is around 1000 meters long and 300 meters wide. Paracity Taipei is celebrating the original first generation Taipei urbanism with high level of illegal architecture, self-organized communities, urban farms, community gardens, urban nomads and constructive anarchy.



Conclusion 

According to UN-Habitat there is 1 billion people live in slums and the number will be double by 2030. The slum can be found all over the world as an increase number of rural-urban migration due to globalization. The slum is global as global city and both developed a range of working connections according to Saskia on Forbes. The phenomena call for careful studies for developing urbanism.

By studying slum urbanism in Kuningan village, Jakarta and how architects and urban planner responded to the issue, we can summarize that:

1. The planning strategy should be more flexible and give a space for self-organized activities (In formalized the formal planning)
2. The scattered pattern of the slum created its streets and lane way to a social space (Kuningan village and Cape town master plan) which is different from standardized urban pattern. Moreover, the pattern makes the absence of border and the landscape begins to emerge (Ryu Nizhizawa).
3. The slum pattern makes a diverse fabric of city. We should aim on slum improvement, rather than slum-clearance.
4. Diverse plot of land, programs and building’s façade like slum urbanism should be integrated to the planning strategy to make a different character of neighborhoods (the work of Brands and Marco Broekman). The work of photographer Dionisio Gonzalez has give us a message that there is beauty on the chaos of slum’s houses.
5. The house in slum is the smallest dwelling which is maximized the site with over-lapping functions of living, sleeping, dinning, studying, family interactions and commercial activities. The house is not a fitted system but it's a growing system. There need a system to accommodate the expansion. ( Urban think Tank and Paracity)
6. The role of urban planner should become neighborhood director who is involved in the design, planning, construction and advocate neighborhood and government for longer period to ensure the success of bottom to top planning.


REFERENCE LIST

    Urban Think Tank in
http://www.dezeen.com/2014/03/07/empower-shack-urban-think-tank-housing-south-africa-slums/
    Sassen, Saskia. 2011 in
http://www.forbes.com/sites/megacities/2011/03/22/the-global-city-and-the-global-slum/
    Benjamin, Walter. One-way Street and Other writings. Published by Suhrkamp Verlag, Frankfurt. 1974-1976
   Putranto, Sandy. Redefining The Spatial Form of Urban Village in Mega Kuningan Jakarta as a new Urban Generator: A study of
    Socio-Economic Aspect in The Forming of Urban Spatial Configuration.2009
SUN. New Town for the 21st Century: The Planned vs The unplanned city. Publisher: SUN. Amsterdam. 2010
   Finoki, Bryan in
http://subtopia.blogspot.com.au/2007/11/squatter-imaginaries.html
    UN-Habitat. The rise of Slums. 2006
    Morphosis. Combinatory Urbanism: The Complex Behavior of Collective Form. 2011
    Kitayama, Koh. Tsukamoto, Toshiharu. Nizhizawa, Ryue. Tokyo Metabolizing. Publish: Toto. 2010
     Paracity in
http://casagrandetext.blogspot.com.au/2014/03/paracity.html



Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home